![]() |
Ilustrasi cerpen Perempuan Anggur Merah. Foto: Unsplash |
Cerpen - Gawaiku bergetar. Layarnya berkedip. Sebuah pesan WhatsApp masuk. Ku lihat sesaat. Dari Yeni. Aku tersenyum. Ku rasa ia juga sedang tersenyum di sana. Atau hanya imajinasiku yang merangkai senyumnya lebar di mataku.
Entahlah. Aku merindukanmu saat ini. Ku ambil sebutir anggur merah. Ku pandang lamat-lamat. Aku teringat seseorang: perempuan yang membuatku merasakan manisnya anggur merah untuk pertama kali, wanita yang mengobati rasa penasaran dan takjub anak kecil terhadap (kata) anggur merah. Ya, hanya sebatas buah anggur.
Derik tonggeret dan jangkrik bersahut-sahutan di luar. Desis angin malam bersiul melewati celah-celah bambu. Dan, gawaiku bergetar. Layarnya berkedip. Sebutir anggur merah terjatuh dari tanganku.
Mentari masih belia mengintip. Ku kayuh ‘untaku’ yang pedalnya hanya sebelah menuju sekolah di dusun sebelah. Saat melewati rumah terakhir di penghujung dusun, terdengar suara perempuan memanggilku. Aku sontak menginjak rem karet dari sandal bekas yang terpancang di atas ban depan.
Dari dalam rumah tersebut keluar seorang perempuan paruh baya. Dia berjalan ke arahku. Tangan kanannya menggenggam sesuatu.
“Nang, ini aku ada anggur untukmu”.
Perempuan itu menyodorkan dua buah anggur merah kepadaku. Aku sangat senang sekali saat menerima pemberiannya, saat melihat dan menyentuh pertama kali anggur merah.
“Terima kasih, Lik”, sembari memasukkan dua buah anggur merah ke saku seragam pramuka.
“Hati-hati ya, Nang! Sekolah dan belajar yang rajin biar pintar. Berbaktilah kepada orang tua!”
Ku cium punggung telapak tangannya. Kembali ku kayuh sepedaku ke sekolah. Semakin cepat. Tak sabar.
“Akan ku tunjukkan ke teman sebangkuku nanti” pikirku. “Bukankah ia sudah sering makan buah anggur merah? Bukankah di dalam lemari kulkasnya selalu tersedia setiap hari? Ah biarlah,” aku menggerutu dalam hati.
Sesampainya di kelas ku keluarkan dan ku baui dua anggur merah yang aduhai menggoda. Segera ku tunjukkan kepada Danar, kawan sebangkuku.
“Dan, aku punya dua butir anggur merah. Tapi aku tidak akan membaginya sebutir untukmu,” kataku kepada Danar, sembari menunjukkan dua buah anggur tepat di depan mukanya.
“Ah, Cuma dua butir. Aku di rumah punya banyak. Bahkan hampir setiap hari buah itu tersedia di dalam kulkas. Weeee…” Danar mengejekku.
“Tapi ini beda,” tukasku.
“Beda? Apanya yang beda? Memangnya kamu sudah pernah makan sebelumnya sehingga kamu bisa bilang beda?”
“Pokoknya beda”, jawabku sedikit kesal.
Kembali ku amati lamat-lamat. Ah, ku rasa aku tak ingin buru-buru. Merah bulatnya memaksaku untuk kembali menyimpannya. Ku masukkannya ke dalam kantong.
Sepulang sekolah – di pertigaan dekat mushola dusunku, tiga tetanggaku mencegat: Lik Parmin, Lik Khasan, dan Lik Syarib. Wajah mereka terlihat serius.
“Kamu tadi pagi diapakan Si Begenggek?” tanya Lik Khasan.
“Iya. Tadi pagi aku melihat kamu sedang berdua sama lonte itu. Kamu dikasih apa, hee…?” sambung Lik Parmin.
Dengan perasaan sedikit takut aku mencoba menjawab pertanyaan mereka.
“Dia memberiku dua buah anggur merah. Hanya itu, Lik”, jawabku.
“Hee.., kamu makan anggur hasil dari kelakuan dosanya?” tambah Lik Syarib.
Aku hanya diam – menunduk. Terlebih sebab aku tidak mengerti apa yang mereka katakan: tentang begenggek, lonte, dan perbuatan dosa. Yang aku tahu bahwa perempuan itu janda beranak satu. Dia sering memberiku uang saku dua ratus rupiah saat aku melintas depan rumahnya ke sekolah – bahwa dia yang membuat aku dapat merasakan nikmatnya anggur merah, dan bahwa dia perempuan yang baik.
“Dusun kita ini terkenal dengan orang-orangnya yang alim, pintar mengaji, dan pintar ilmu. Namun, wanita itu..”
“Kenapa dengan Lik Mun?” aku mencoba bertanya.
“Sudahlah. Kamu lebih baik pulang. Dan, jangan pernah lagi berurusan dengan begenggek itu,” imbuhnya.
“Tapi kenapa? Dia baik kepadaku. Kalau kalian merasa lebih baik darinya, kenapa kalian tidak memberiku uang saku seperti yang dilakukannya? Bukankah kata Pak Zen, guru ngaji di dusun pernah berkata bahwa orang baik adalah orang yang tidak pernah menggap dirinya baik serta tidak pernah menganggap orang lain buruk?” batinku dalam hati.
Kembali ku kayuh sepedaku, ingin segera pulang. Aku tak ingin berlama-lama melihat wajah merah-padam mereka, berlama-lama mendengar umpatan mereka tentang Lik Mun, dan, aku tak ingin berlama-lama menyimpan anggur merah di sakuku. Ingin segera ku menyentuhnya.
Segera ku sandarkan ‘untaku’ di cagak (tiang rumah) teras rumah. Bergegas masuk kamar. Ku lempar tas di balai bambu. Aku duduk, napasku tersengal. Ku gapai dua butir anggur dari dalam saku. Kupandangi lamat-lamat.
“Rasanya aku tidak ingin segera melahapmu. Tapi aku penasaran,” gumamku.
Rasa penasaran itu semakin mendesak, menggerakkan tanganku, menuntunnya memasukkan sebutir anggur merah ke dalam mulut. Ku kulum sebentar, ku kunyah perlahan. Satu-dua kunyahan. Aku melayang. Nikmat sekali. Lidahku membolak-balikkan dan memuntahkan bijinya. Kembali ku sesap. Dan, aku tidak ingin segera menelannya.Tersisa sebutir di tanganku. Aku kembali teringat Lek Mun. Kenapa warga di desa ini begitu membencinya? Aku tak pernah melihat perawakan jahatnya. Mataku kembali tertuju pada anggur merah di tanganku. Ah, aku tidak ingin segera melahapnya. Biarlah ku simpan sisanya.
Menjelang sore perutku terasa amat sakit. Seperti ada yang menusuk dan bersarang di perut kiri bagian bawah. Ingin muntah tapi tertahan. Tubuhku berkeringat. Baju yang kukenakan basah. Udara di bilik serasa panas. Padahal angin berembus masuk dari celah gedek, dinding dari anyaman bambu.
Aku menangis, menjerit, meronta, sembari memegangi perut. jeritanku pecah, mengundang seisi rumah. Bahkan angin membawanya keluar melalui celah gedhek hingga sampai ke telinga para tetangga.
Aku terus menangis dan menjerit. Pandanganku kabur. Tak lama ku lihat emak, bapak, dan Kak Kohar masuk ke bilik kamarku.
“Kenapa, Le?” emak bertanya, panik.
Ia merangkulku. Air matanya tumpah. Ku rasakan satu-dua jatuh tepat di pipiku.Di sisi lain bapak meraba dan menekan pelan perut yang sedari tadi aku pegangi.
“Perutnya bagian bawah-kiri sangat keras,” kata bapak.
Ia kemudian meletakkan punggung telapak tangannya di dahiku.
“Koh, cepat panggil Mbah Pandu,” pinta bapak kepada Kak Kohar.
Kak Kohar segera meninggalkan bilik. Sementara itu, satu persatu tetangga mulai memasuki bilikku tanpa permisi tanpa diundang. Jerit tangisku mungkin membuat mereka yang mendengar bertanya-tanya. Ada apa? Samar ku lihat ada Lik Parmin, Lik Khasan, dan Lik Syarib turut berdiri di antara tetangga lainnya. Seketika sesak dan semakin pengap.
“Ini pasti karena begenggek sialan itu. Keparat!” sayup-sayup kudengar umpatan itu dari mulut Lik Syarib sebelum semuanya gelap, tak mendengar apa-apa. Aku tak sadarkan diri.
Gema tahlil merambat, mengisi tiap sudut rumah. Malam itu rumah Yeni penuh jamaah tahlil. Tampak pula Lik Khasan, Lik Syarib, dan Lik Parmin di antaranya. Pak Zen memimpin dengan khusyu, diikuti oleh jamaah. Tapi entah dengan hati – aku tak tahu. Bahkan aku sendiri yang duduk di antara mereka. Mulut melantunkan ayat-ayat suci (bertahlil), namun mulut, hati, dan pikiran tak sejalan. Hatiku tak karuan. Pikiranku selalu memaksaku mengingatnya.
“Ah, bukankah kau tak layak untuk aku pikirkan? Kau lebih layak untuk ku perjuangkan, Yeni”, kataku dalam hati.
Sebelum mulai acara tahlil sempat kutangkap senyumnya. Senyum yang hampir tak pernah kusaksikan sejak tragedi itu. Tragedi yang kini turun-temurun diceritakan dari mulut ke telinga. Bahkan aku pun tak mengerti secara pasti yang sebenarnya terjadi.
Jamuan dihidangkan usai tahlil ditutup doa Pak Zen. Makanan ringan seperti: keripik singkong, kacang atom, kacang asin; dan buah-buahan tertata rapi di piring tersuguh. Tak ada raut kusut yang terpancang di setiap wajah. Semua larut dalam perbincangan apa pun. Mulai dari wereng yang mulai menyerbu tanaman padi di sawah hingga perihal kecantikan Yeni yang membuat semua yang ada di rumah itu terkagum-kagum.
Tak kudapati pula raut masam, sedih, atau bahkan dendam di wajahnya. Ia telah memaafkan atas tragedi sebelas tahun silam. Tak tersisa sama sekali meski kurasa bukan hal mudah. Ia lebih tabah dari yang ku kira, lebih tabah dari Hujan Bulan Juni.
“Yen, senyummu berbeda dari terakhir kali kulihat sebelum kau dikirim ibumu ke pondok pesantren di Jawa Timur. Aku masih ingat waktu itu kita kelas empat SD. Aku menghasutmu agar kau tak menuruti kemauan ibumu, sebab di pesantren kau tak akan merasa bebas. Tapi kau tak mau mendengarkanku. Dan malam ini adalah malam kusaksikan senyum terindahmu. Senyum yang beriringan dengan senyum mereka. Terkembang tanpa beban sembari menikmati jamuan anggur merah yang kau hidangkan”, kataku dalam hati.
Penulis: Zahid Arofat
Komentar