CERMIN DIRI
Oleh: Mega Dessy Ratnasari
Waktunya telah
tiba, untuk segera melepas keterikatan
Rambut ini mulai
rontok, seakan semuanya makin parah
Bisa juga
lama-lama menjadi botak
Aku tak peduli,
ku anggap semuanya baik-baik saja
Tidak menutup
kemungkinan masanya akan datang
Bersamaan dengan
sakit yang memudar
Masih ingat
kalau aku sedang sakit? Tentu kau lupa
Perempuan macam
apa aku? Biadab mungkin
Ada yang bilang
kalau aku tak tahu diri
Ya, ada benarnya
Kata orang aku
tak tahu malu, ku benarkan saja
Bisa juga kaca
dirumahku terlalu kecil
Atau, lama-lama
aku tidak membutuhkannya
Untuk apa?
Berdandan?
Ingat, aku ini
perempuan biadab jadi tidak butuh kaca
Pecah saja,
kemudian buang
DIAMBANG
KEBODOHAN
Oleh: Mega Dessy Ratnasari
Kejiwaan pasti
pas untuk di bicarakan
Berimajinasi
tanpa mengenal batas normal
Beberapa hari
ini kualami
Hilang kendali
dengan beragam keabu-abuan
Sepertinya
diambang ketakutan tapi menutup
Layaknya aku
membuat kurungan, anggap saja penjara
Lengkap dengan
gembok dan kuncinya
Hahaha aku
tertawa lepas sedang air mengucur di pelupuk
Menyalah dan
dipersalahkan memutar isi kepala
Baiknya aku
segera masuk kurungan yang kusiapkan
Ku gembok
kemudian buang kuncinya sejauh mungkin
Enak bukan,
membuat perangkap diri sendiri
Aku memang bodoh
Melemahkan yang
sebenarnya tidak mau lemah
Menjatuhkan yang
sebenarnya tidak mau jatuh
KEDEWASAAN TAK
MENJANJIKAN
Oleh: Mega Dessy Ratnasari
Jatuh dan
menjatuhkan diri beda rasa
Sakit dan
meyakitkan diri juga beda
Jatuh itu
datangnya pada cibiran mulut ke mulut
Sakit itu akibatnya
juga dari banyak mulut-mulut berkeliaran
Bagaimana
menyikapi itu jadilah suatu sikap
Yang benar dan
salahnya tercampur aduk dengan bingung
Bingung dalam
memikirkan suatu cara penyelesaian
Penyelesaian
yang harusnya tak terbantahkan
Dalam atau
dangkal suatu pemikiran tertuang di situ
Yang satu
berkata kebaikan tapi di samping menuju kejelekan
Semata-mata
mengindahkan dan ujungnya menyakitkan
Aku merasa dan
dirasakan
Perempuanku
masih di batas kata normal
Aku bisa
membedakan kata muda dan dewasa
Bisa menjelaskan
kata positif dan negatif
Bahkan bisa
menegaskan kata benar dan salah
Mungkin aku
memerlukan perorangan sebagai pengingat
Tapi aku tidak
membutuhkan pengingat yang watak aslinya malah menggugat
Aku suka
diperingatkan tapi jangan dijatuhkan
Aku suka
diperhatikan tapi jangan berlebihan
Aku suka
diistimewakan tapi jangan keterlaluan
Aku butuh
pembimbing tapi bukan yang mengambil kesempatan
Aku butuh
penasehat tapi bukan yang menuju kemaksiatan
Aku menilai
kedewasaan Anda
Aku melihat
kebaikan melekat pada diri Anda
Percaya dan
sangat percaya itu
Tapi mengapa
kepercayaan berubah jadi kebencian
Tertimpa pada
diri sendiri
Dan harusnya
segera lari agar terhindar pada ketajaman duri
Perlu adanya
berpikir seribu kali
Karena jebakan
ini teramat ahli
Kenyamanan yang
selalu diberikan kini tak ada arti
Ku siapkan
beribu cara pula untuk melarikan diri
Hingga akhir
menunjukkan aku dapat berdiri diatas kakiku sendiri
|
LIANG
By: Arifa Rachmi Putri
Termangu beratap
langit biru
Memikirkan
pikiran yang kosong
Ujung lurus
penuh dengan tingkungan tajam
Langkah kaki
seakan tak berarah
Pandanganpun
berlahan menghilang
Harapan sudah
tak lagi bersemi dihati
Seolah perasaan
ini sudah tak lagi dapat dikendalikan
Tak ada satu pun
orang yang bersemayam di sini
Tapi aku tetap
tekad pada keyakinan ku
Terus terjang
badai tak jadi halangan
Langkah kaki
semakin berat
Pikiran semakin
kosong dan hilang
Sudah tak ada
lagi yang dapat menolong
Aku sendri
mengahadang menerjang
Dan takdir pun
memnggilku
Bersemayam sudah
aku bersama Tuhan
Janji Suci
By: Arifa Rachmi Putri
Rindangnya daun
menjadi saksi kita
Saksi bahagia
yang tak terbatas
Satu janji kau
ucapkan dengan setulus hati
Tak akan pernah
ada yang lain
tak akan kau
hianati kepecayaanku
senyum merona
penuh dengan keyakinan
seolah hanya
diri ku yang kau cinta
hari itu Menjadi
hari yang sempurna
kemeriahan
suasana menggambarkan perasaan kita
perasaan yang
tak pernah aku rasakan sebelumnya
aku berjanji
dibawah langit biru
akan selalu
menyayangi dan mecintai mu
melahirkan
keturunan dari mu
menjadi ibu dari
anak-anak mu
menjadi istri
untukmu suamiku
sudah melingkar
cicin manis dijari ku
tak akan pernah
terlepas dan terganti
karena hanya
maut yang dapat memisahkan kita
NEGERIKU
By: Arifa Rachmi Putri
Tanah ini
menjadi saksi kelahiran ku
Ditanah ini aku
dibesarkan
Dikenalkan
dengan berbagai macam budaya
Di besarkan
dalam adat dan budaya nenek moyang ku
Pola pikir ku
seakan enggan jauh dari itu
Pola tutur ku
menjadi identitasku
Jiwa ini sudah
menyatu pada adat dan budaya ku
Jauh aku pergi
Tak menjadikan
alasan untuk lupa atau melupakan
Kekayaan ku
sudah meluap kemanca Negara
Tak ada yang
dipermalukan dari tanah ku
Mempertahankan
kekayaan ku sudah menjadi kewajiban utama
Bangga ku padamu
Terus aku
berkarya padamu
Cinta ku tanah
air ku
Indonesia
Tak Ku Mengerti
Oleh: Zahid Arofat
Tak ku mengerti
jalan pikiranmu
Kau minta aku
menerimamu,
Ku menerimamu kau acuhkan aku
Kau minta aku
menyambutmu, Aku menyambutmu kau abaikan aku
Tak ku mengerti
isi hatimu
Kau tuntut aku
setia, Aku setia engkau mendua
Kau tuntut aku
perhatian, Kau ku perhatikan aku kau abaikan
Tak ku mengerti
jalan pikiranmu
Kau ingin aku
selalu ada, Aku ada kau anggap aku tiada
Kau ingin aku
bersuara, Aku bersuara kau diam saja
Tak ku mengerti
isi hatimu
Kau ingin aku
mati, Aku sakit saja kau tangisi
Kau ingin kita
terlihat mesra, Ku dekatimu saja kau tak rela
Tak ku mengerti
jalan pikiranku
Kau temukan
hidup yang manis, Tapi aku justru menangis
Kau temukan
hidup yang bahagia, Kau bahagia aku terluka
Tak ku tahu isi
hatiku
Kau di sini ku
rasakan sesak, Kau tak di sini hatiku retak
Kau tersenyum
ku tertegun, Kau bersedih hatiku perih
Tak ku mengerti
jalan pikiranku, Tak ku mengertipula jalan pikiranmu
Tak ku mengerti
isi hatiku, Tak ku mengerti pula isi hatimu
Sungguh ku rasa
hati dan pikiranku menjadi beku..
Di Mana Kau?
Oleh: Zahid Arofat
Di mana Kau
yang menjadi cahaya?
Sementara kini
ku rasa gulita.
Di mana Kau
yang menjadi tongkat?
Sementara kini
mataku tak lagi melihat.
Di mana Kau
yang jadi sandaran?
Sementara kini
tubuhku tiada penopang.
Di mana Kau
yang jadi selimut?
Sementara kini
ku menggigil nadi tak berdenyut.
Di mana Kau
yang akan selalu ada?
Sementara kini
ku hampir tiada.
Di mana Kau?
Mereka bilang
Kau-lah pengasih,
Di mana Kau
saat ku rasa sedih?
Mereka bilang
Kau punya segalanya,
Di mana Kau
saat ku tak punya apa-apa?
Mereka bilang
Kau-lah penolong,
Di mana Kau
saat ku gemetar dengan perut kosong?
Mereka bilang
Kau selalu melihat dan mendengar,
Di mana kau
saat ku lemas dan terkapar?
Mereka bilang
Kau selalu adil dan bijaksana,
Di mana Kau
saat ku berjuang dan menderita?
Di mana Kau?
Sebutir
Embun
Oleh:
Zahid Arofat
Biarkanlah
aku rela,
Menjadi
sebutir embun di musim kemarau,
Menggantung
di ujung dedaunan;
Diterpa
angin timur;
Lalu
jatuh dan teruai pada tanah yang rindu akan hujan.
Bahkan
mentari pun tak sudi menyapa,
Lalu,
dihapuskaannya jejak itu.
|
Tembok
Oleh: Agus Setyo Purnomo
Kau tahu tembok
raksasa china ?
Kau tahu menara
eifell ?
Kau tahu menara
pisa ?
Jauh, memang
jauh
Bila kau hanya
melihat tanpa berusaha
Apa kau tahu
Borobudur?
Apa kau tahu
monas
Ya, dekat
memang dekat
Tapi terasa
jauh jika ada dinding penghalang.
Begitulah
cinta,
Akan terasa
dekat
Jika cinta
hidup di dalam hati.
Akan terasa
jauh pula
Jika api cinta di
dalam hati terhalang oleh rasa benci
Gunung Kidul
Oleh: Agus Setyo Purnomo
Gunung Kidul,
Bukan gunung
yang ada di kidul.
Gunung kidul,
Melainkan hamparan
pantai nan biru.
Gunung Kidul,
Bukan soal
dinginnya cuaca gunung
Gunung Kidul,
Melainkan
hamparan pegunungan kapur.
Lalu kenapa
harus Gunung Kidul ?
Ada apa dengan
Gunung Kidul ?
Bahkan apa kau
tahu Gunung Kidul ?
Ya itu adalah
Harta karun tiada bernilai,
Tempat indah
tiada dua,
Hamparan pasir
putih suci,
Tegarnya batu
karang,
Berdiri
mengangkang menantang samudera.
Gemulainya
tarian ombak laut kidul
Hanya ada di
Gunung Kidul.
Melody
kesakitan
Oleh: Agus Setyo Purnomo
Matahari
hilang, turunlah malam
Angin berhembus
tiada penghalang
Jalanan berdebu
semakin buram
Raut muka
berubah jadi muram
Apakah penyebab
gerangan ?
Rasa sakit
karena kekecewaan.
Ya kekecewaan
Lalu,
kekecewaan seperti apa ?
Indahnya
hayalan tak pernah bertemu dengan kenyataan,
Lalu kau
terpojok sendiri, sendiri di sudut kota ini
Lalu alunan
melody tak bernada mulai muncul mengiringi
Entah suara apa
ini?
Kau merasa
semakin sakit hati
Tapi kau
sungguh menikmati.
Sungguh kelam,
nada apakah ini ?
Begitu menyayat
hati tapi kau sungguh menikmati
RINDU
Oleh: Nur Malita
Safitri
Dikala senja mulai tiba
Burung berlomba kembali pada sarangnya
Bernyanyi berirama menemani pena
Gemulai menari-nari diatas panggungnya
Jejak untaian kata hati tambatannya
Hati akan luapan rindu masa lalu
Bergandeng tangan menghadirkan cinta
Menjelma kenangan manis
Bingkai kebersamaan tersusun rapih
Namun siapa kita?
Hanya seonggok bertunduk pada takdir
Tak berdaya oleh kuasa Maha Tinggi
Tetapi bukan menjadi haknya
Menyalahkan waktu yang terus melingkar
Jarak yang semakin membentang
Karena waktu telah menjadi pupuk rindu
Karena jarak telah menjadi tebaran cinta
Tumbuh lalu mengembangkannya
Bahkan gunung pun malu menjadi tandingannya
Semarang, 21 Mei 2015
PEDIH
Oleh: Nur Malita
Safitri
Otak melayang melalang buana
Peluh hati menetes tak terhenti
Teringat hamba akan tuannya
Seketika, tertahan asa bak di surga
Tawa canda mengindahkan ingatan
Lalu kembali terbawa nafas neraka
Kembali pada pisau dan goresan
Kini kita bisu tak bersua
Berbalik bertentangan arah tujuan
Hidup bagai seorang amnesia
Berbuah tangan sekantong luka
Semarang, 21 Mei 2015
INI MERDEKA?
Oleh: Nur Malita
Safitri
Kau bilang ini negara
Mereka bilang kita merdeka
Namun darimana cara pandangnya
Untuk bicara saja haram hukumnya
Semanis anggur celotehan para anggota
Bukan main muak mendengarnya
Duduk-duduk santai di laut derita
Memandang hamparan miskin kanan kirinya
Dibiarkan jerit tangis menyumbat
telinganya
Bau menyengat dari tanah lahirnya bahkan
diacuhkannya
Sungguh, dosa apa leluhur mereka
Sampai kaca tak sudi menerimanya
Semarang, 21 Mei 2014
“Aku Ingin”
(oleh Barokah Muhazetty)
Aku ingin seperti mereka
Aku ini apa? Hanya benalu kehidupan
Tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana
Seperti daun yang akan bergerak karena angin
Aku ingin seperti angin, yang berguna untuk semesta
Aku ingin seperti tanah, yang menjadi pijakan manusia
Aku ingin seperti hujan
Meski dia tahu betul bagaimana rasanya sakit jatuh berkali-kali
Dia akan tetap kembali, tak akan lelah dan berhenti
Ya, aku ingin……
Semarang, 22 Mei 2015
“Sakit Hati”
(Oleh Barokah Muhazetty)
Darah yang aku hiraukan
Darah yang tak terlihat
Sakit, tapi aku bertahan
Aku hanya diam
Aku tahu, darah itu akan muncul
Aku tahu, darah itu akan hilang
Darah..
Kamu, yang membuat darah ini keluar dan hilang
Darah, yang berwarna merah dan berbentuk hati
Itu cinta
Sakit, tapi aku bertahan
Semarang, 22 Mei 2015
“Long distance Relationship ”
(Oleh Barokah Muhazetty)
Awalnya indah ketika bertemu
Mungkin terkesan memuakkan
Tapi aku bahagia
Namun…
Takdir, hidup,dan masa depan
Membuat kita jauh, Tak terlihat
Hanya suara tak bertuan
Itu tidak lama
Sampai dimana titik, aku sudah tahu akhir cerita hubungan ini.
Sekian..Tak berlanjut
Bahkan tak saling kenal
Jarak dan waktu memang kejam.
Semarang, 22 Mei 2015
Harapan
Sepi
Oleh: Arif Hidayat
hidupku seperti bulan tanpa bintang
tak ada satupun cahaya yang menemani
bulan
seiring berjalanya waktu apakah akan
berubah
tak ada yang tau arah kedepan
RENUNGAN
Oleh: Arif Hidayat
Memikirkan tentang matahari
Bukankah manusia sudah terlalu terbiasa
dengan matahari
Hingga mereka tidak menyadari
keberadaannya
Bahkan enggan untuk sekedar memandangnya
Lihatlah bulan
Kehidupan alam ini
Yang setiap hari menerangi belahan bumi
Memancarkan cahaya dan kehidupan
Bukankah manusia sudah terlalu terbiasa
dengan bulan
Bahkan untuk sekedar memandang
Manusia sudah terlalu terbiasa dengan
beribu-ribu kenikmatan dialam
Hingga mereka lupa untuk sekedar
menyukurinnya
Kenikmatan disaat sehat baru terasa saat
sekarat
Kenikmataan kekayaan baru terasa saat
tak punya apapun
Entahlah apalagi yang dilupakan
BERTANYA-TANYA
Oleh: Arif Hidayat
Teman, apa itu teman?
Apakah beribu-ribu orang disekelilingmu
disaat kamu senang?
Pacar, apa itu pacar?
Apakah satu orang disekelilingmu yang
membuat lupa beribu-ribu orang tadi?
Sahabat, apa itu sahabat?
Apakah beberapa orang disaat beribu-ribu
orang mengabaikanmu dan pacar meninggalkanmu?
Apa arti semua itu
Adakah..
Oleh: Dewi Monica Sari
Kegelapan yang membuatku resah
Seperti kabut yang datang
Dan entah kapan hilang
Hanya waktu memang
Sesekali aku melihat keatas
Adakah cahaya yang akan menyinari
Rasa yang akan mensejukan hati
Yang akan bersemayam ditubuh ini
Aku tak ingin seperti daun terhempas
Melayang, hilang, tanpa arah
Meski rasa ini tak mampu ungkapkan,
hanya terpendam.
Masih adakah.... harapan......
Hey
Oleh: Dewi Monica Sari
Hey..
Aku bolehkah memanggilmu dengan nama
khusus?
Tapi hanya aku yang boleh
menyebutkannya, egois memang.
Tapi dari situ aku mengenalmu, ingin
terus mengenalmu.
Sampai pada akhirnya aku mendapatkanmu,
menjadi kekasihku.
Sungguh tak menyangka kau suka padaku.
Indah tak bisa ku ungkapkan.
Hanya harapan indah di angan-angan.
Sampai saat ini aku terus berteriama
kasih,
Kau hadir merubah pandanganku pada
lelaki
Terima kasih hal terindah,
Aku tak ingin berpisah.
Ikan pesut.
Oleh: Dewi Monica Sari
Apa kabar?
Aku sudah lama tak bersua denganmu..
Bagaimana udara disana?
Ku harap kau sehat selalu.
aku masih ingat dulu,
ketika aku memegang perutmu diatas
motormu.
Dari situ aku selalu memanggilmu ikan
pesut.
Iya, perutmu besar seperti ikat itu.
Dulu kita selalu berdua ketika zaman
sekolah,
Sekarang
ketika kita sudah masing-masing kau dengan siapa?
Ku harap sosoknya tak sama denganku
yah...
Sampai ketemu liburan tahun ini,
sahabatku.
Menolak Rindu
Oleh: Gina Mardani
Kegundahanku
sebenarnya menunggu jawaban
Antara
distorsi realita dan memori lama
Aku
menunggu
Tapi
kau hanya menganggapku
Bayangan
semu
Adamu
seakan membuat dekat
Antara
malam dan siang,
Membuat
dekat bumi dan bulan
Tapi
Malah
menjauhkan kita
Seakan
kau mainkan melodi sengsara
Semarang, 2015
Untuk Kau
Oleh: Gina Mardani
Untuk
dikau yang sedang menyebrangi laut Arafuru
Teruslah
dayung perahumu
Hingga
pulau kan kau peluk
Sebab
Tuhan takkan pernah meninggalkanmu
Dalam
ombak kesedihan yang menggulung bahagiamu
Untuk
kau yang sedang mendaki puncak piramida cartenz
Tantanganglah
langit dengan tapak-tapak kakimu
Dekaplah
Tuhan lebih mesra, lebih dekat lagi dari biasanya
Untuk
kau yang mengarungi padang Sahara
Temanilah
unta-unta yang kehausan
Sebab
kau akan tahu bagaimana bulatnya bumi
Gelapnya
malam
Dan
terangnya bintang gemintang
Dan
untuk kau yang menyatu dengan bumi di Amazon
Lampaui
batas-batas nafasmu
Sebab
Tuhan takkan lari membiarkanmu bercumbu dengan takdir
Walau
sebab ada sakit yang harus direngkuh
Kan
ada pula surga yang kau harap penuh
Semarang, 2015
Kau Dendam Aku,
Kudekap Sakitmu dengan Lebih Mesra
Oleh: Gina Mardani
Aku
Tak
berdusta
Padamu,
Sungguh!
UNTUK
NEGERI
Oleh: Irlinza Farah Embarsari
Senja sore ini,
ribuan bintang mengantri untuk
menunjukkan diri,
serupa kita yang masih berdampingan sama
sisi,
ribuan langkah penerus generasi untuk
negeri,
mau berhenti atau terus menjalani,
untuk melanjutkan apa yang pernah
diperjuangkan.
Enam puluh Sembilan tahun sudah
mendeklarasikan diri,
Dengan tetes darah dan perjuangan yang
tanpa henti,
Semoga segalanya tidak berhenti sampai
di sini.
Untuk negeri dimana kita memulai
bermimpi,
Haruskan kita masih berdiam diri?
Menyombongkan apa yang sudah dimiliki,
Hingga lupa sebagian telah hilang dan
pergi.
Untuk negeri yang penuh pengharapan,
Dari yang pernah memperjuangkan,
Tugas kita, melanjutkan.
Terimakasih pahlawan,
Dan selamat meneruskan perjuangan,
Wahai generasi mendatang.
JAKARTA,
AKU JATUH CINTA
Oleh: Irlinza Farah Embarsari
Ada jarak yang membuat dekap tak ingin
lepas,
Ada kamu yang membuat rindu tak pernah
semu,
Ada rasa yang semula biasa menjadi istimewa.
Termakasih telah menjadi baik pada
setiap buruk yang pernah ada,
Semoga langit mengumpulkan rinduku
sampai kita bertemu,
Dan semesta menyatukan doa kita agar
tidak ada lagi hati yang terluka.
Doaku, meski tidak ada yang selamanya,
Semoga hatiku jatuh kali ini untuk
terakhir kalinya.
Kamu, baik-baik ya disana,
Jakarta, aku jatuh cinta.
BOLEH
AKU KEMBALI
Oleh: Irlinza Farah Embarsari
Boleh aku kembali? Sebentar saja,
Hanya untuk memastikan kamu benar-benar
bahagia.
Boleh aku kembali? Sedetik saja,
Untuk menatap mata yang tak pernah
berhasil menyembunyikan apapun dariku.
Boleh aku kembali? Sejenak saja,
Akan kupinjamkan telingaku untuk setia
mendengar keluh kesah perjalananmu.
Boleh aku kembali? Sebenarnya…
Aku sedang mencari,
Mencari, barang kali masih ada sekelumit
aku dihidupmu saat ini.
Boleh aku kembali?
Untuk mengulangi, bila terlalu jauh…
Boleh aku kembali?
Untuk memperbaiki, bila terlalu rumit…
Boleh aku kembali?
Untuk mengenali bagaimana kita kini.
|
Sebuah
Pengkhianatan
Oleh: Khifdiatul Lutfiah
Pengkhianatan selalu
berada disini
Selalu bersembunyi
tanpa ada rasa simpati
Otakku beku, logika mati
Busuk untuk kepentingan
sendiri
Dulu yang selalu bersama
Dulu yang selalu tertawa bersama
Dulu yang selalu berbagi suka dan duka
bersama
Dulu yang selalu bercanda bersama
Kau begitu tega
kepadaku
Mengkhianatiku
seolah-olah kau tak mengenalku lagi
Kini kau hanyalah
tinggal bayangan
Senja
Sore
Oleh: Khifdiatul Lutfiah
Yang tengah
bercengkrama dalam keakraban hati denganmu…
Ku syukuri segala
nikmatmu ya Rab
Ku tersenyum dalam
sapaan rindu dan tersipu malu dalam cintamu
Tidak ada yang bisa ku ingkari
Rasa ini hadir dengan sendirinya
Engkau yang menanamkannya dihati
Kuingin terpatri dan takkan terganti
Aku sendirian hanya
bisa menjalani
Segalanya engkau yang
merencanakan dan menggariskan
Tak ada hak bagiku
menolak kehendakmu
Karena seutuhnya yang
ada padaku
Serta segala yang ada
di alam dunia hanyalah milikmu
Pendosa
Oleh: Khifdiatul Lutfiah
Tuhan…
Ampuni dosa besar dan
dosa kecilku
Dosa itu begitu nikmat,
aku lupa diri
Tuhan, aku lemah dan
lumpuh tanpa nikmatmu
Tapi … aku tak pernah
sadar atas belas kasihmu
Banyak waktu yang ku buang
Karnaku tidak mensyukuri tiap detik nikmat
yang kau beri
Dosa ini menyiksaku
Surga jauh dan tak kunjung mendekat
Hamba ini hina, pantaskah dapat ampunanmu ya
tuhan…
Dosa ini memalukan,
dosa ini memilukan
Dosa ini aku yang
punya, dosa ini aku yang merasakan
Aku tersiksa aku
terlena aku yang sakit aku yang terjangkit
Dosa ini terlampau
banyak
Aku merasa terasing
dari dunia
Aku
sudah berani malu pada dosa yang berlalu
Tapi melunasinya tak sekedar berbicara
Karena dari mulut mungkin saja basi
Aku
berjuang menghapus dosa
Agar
tidak malu ketika mati
AKU INGIN PULANG
Oleh: Larashati Setyo
Ningtyas
Ajarkan aku bagaimana kau bisa menyembunyikan luka
Sementara kau masih dapat tersenyum
Dan bahkan kau tertawa untukku
Ajarkan aku bagaimana kau menabahkan hatimu
Sementara kau masih dapat terus berjalan
dan bahkan kau berlari untukku
Aku ingin kembali ayah
Di masa di mana aku masih dalam dekapan
hangatmu
Kau yang masih mengusap air mataku saat aku
menangis
Menenangkanku di saat aku gelisah
Ku pejamkan kedua mataku
Mencoba tuk mengingat kembali wajahmu
Mengingat senyuman itu
Ayah, aku rindu
Kau tahu?
Banyak sekali hal yang ingin ku ceritakan padamu
Aku ingin menceritakannya seperti saat dahulu
Saat2 aku seusai bermain bersama kawan2ku
Tapi kini, menceritakannya hanya akan menambah beban
untukmu
Dan itu sangat mengganggu pikiranku
Sehat, sehatlah selalu ayah
Aku tau kau selalu mendoakanku tanpa ku
minta
Agar aku tumbuh menjadi orang yang kuat dan
tabah
Agar aku senantiasa merendahkan hati serta mengamalkan
ilmu
Itu yang selalu kau ajarkan pada kami
Anak2mu
SEMI MEMUDAR
Oleh: Larashati Setyo
Ningtyas
Masih ingatkah?
Ketika kita masih di sini
Berada di hamparan hijau dan teduhnya langit di musim
semi
Menikmati hembusan angin
Menembus melalui celah2 pinus
Lalu kau akan mengambil nafas panjang
Mencoba rasakan dan menyatu dengannya
Masih ingatkah?
Permainan yang biasa kita lakukan
Kau mencoba untuk bersembunyi
Pada hamparan ilalang
Dan bagaimana bisa kau melakukan kebiasaan
yang sama
Dengan sengaja meninggalkan jejakmu
Agar aku dapat selalu menemukanmu
Kini semua telah berakhir
Dan kau masih bertanya mengapa aku ingin kembali?
Karena aku mencintaimu
Kau mengatakan semua akan baik-baik saja
Waktu yang akan membiasakanku menjalani
hari tanpamu
Kau pikir ini semudah yang kau katakan
Jauh dari perkiraanmu
Yang ku tahu
Aku masih dapat melihatmu pada indahnya mentari pagi
Aku masih dapat mendengarmu pada desir angin sore
Aku masih dapat merasakanmu pada dinginnya malam
Hingga pada saatnya
Semua itu memudar
TELAH LALU
Oleh: Larashati Setyo
Ningtyas
Aku tersenyum
Pada kedua tangan ini
Yang pernah kau sentuh
Yang pernah kau genggam dengan hangat
Aku tersenyum
Pada kedua kaki ini
Yang pernah kau ajak tuk berlari
Yang pernah kau kejar tuk menggapaiku
Dengan bodohnya aku seringkali bertanya
pada diriku sendiri
Bertanya pada cermin
Bertanya pada udara
Hingga aku basah, aku menangis
Lagi, dan lagi
Aku melihatmu
Kau tersenyum dengan wajah rembulan
Pandangmu sayu
Dan masih menatapku
Apakah ini nyata?
Kau tak benar-benar berada di sini
Namun aku masih dapat merasakan hadirmu
Kini takkan ada lagi sapaan
Tawa atau pun kemarahanmu
Karena kau telah memutuskan
Kau dan aku takkan pernah lagi bersama
Oleh: Nur Chasanah Isnaini
Aku tak
mengerti dengan jalan pikiranmu
Kamu selalu
melakukan hal yang sama
Dan dengan
mudah
Kamu biarkan itu berulang-ulang
Seperti
komedi putar di wahana permainan
Berputar dan
berulang
Membuat
kepala terasa pusing
Rasanya
ingin memuntahkan segalanya
Walaupun
begitu
Tetap saja
aku ingin memainkannya
Karena tiap
putarannya
Terbuai aku
masuk kedalamnya
Terperangkap
aku dikegilaannya
Tapi tetap
saja
Aku tak
pernah jera
Masuk dalam
permainnannya
Karena
dengan begitu
Aku dapat
merasakan kamu ada
Oleh: Nur Chasanah Isnaini
Kamu selalu
membuat cerita dihidupku
Entah itu
gelap atau terang
Bukan
abu-abu
Kamu alasan
mengapa aku suka menulis
Entah itu
sedih atau senang
Bukan ambigu
Kamu selalu
ada ditiap kata kubicara
Entah itu
benar atau salah
Bukan tak
bermakna
Kamu alasan
mengapa aku masih
Masih
berkutat dimasa lalu
Masa yang
membuatku menunggu
Kamu selalu
menjadikanku objek kekesalan
Yang
menjadikanku tempat pelarian
Yang membuat
belenggu datang
Kamu alasan
aku berkata “tak mengapa”
Karena
asalkan kamu ada
Itu sudah
lebih dari cukup
Oleh: Nur Chasanah Isnaini
Melihatmu disore itu
Kita saling
menatap
Dan akhirnya
saling tersenyum
Aku berdiri
sendiri
Kamu datang
menghampiri
Dan kita
bersama lagi
Kamulah
senjaku
Senja yang
membawa bahagia
Melihatmu
disore itu
Kita saling
menatap
Dan akhirnya
saling membuang muka
Aku terpaku
sendiri
Kamu berlalu
pergi
Dan kita
berpisah lagi
Kamulah
senjaku
Senja yang
membawa luka
Memang aku
bahagia disisimu
Tapi aku
juga terluka
Tak bisakah
kamu
Tak sedikit
– sedikit mendekatiku
Tak sedikit
– sedikit menjauhiku
Karena perlu
kamu ketahui
Kamulah
senjaku
Senja yang
aku nanti
GELISAH
Oleh: Ristya Kharisma Arswenna
Empat bulan penuh kegelisahan
Mempertanyakan sebuah kebingungan
Berdiam di antara ketidakjelasan
Merangkak mencoba bertahan
Entah hitam
Entah putih
Entah apa yang sebenarnya terjadi
Pergi dengan keabu-abuan
Ketidaktenangan perlahan terobati
Mencari cara mengikhlaskan pergi
Tetesan biru tak lagi sering membasahi
Semuanya berkat mengimani
RINDU MADU
Oleh: Ristya Kharisma Arswenna
Rindu rindu rindu
Rindu rindu madu
Madu rindu rindu
Rindu pada madu
Madu madu madu
Madu madu rindu
Rindu madu madu
Madu aku rindu
TATAPANMU
Oleh: Ristya Kharisma Arswenna
Tatapan matamu begitu tajam
Menusuk dalam jantungku
Seakan dunia menghujat
Begitu tajam bak belati
Entah apa maksud tatapanmu
Benci atau cinta
Ataukah hanya kiasan dalam bahasa penulisan
Wajahmu tampak berbeda
Tersirat sebuah kata
Bicaralah
Bicaralah agar kumengerti hatimu
Menusuk dalam jantungku
Seakan dunia menghujat
Begitu tajam bak belati
Entah apa maksud tatapanmu
Benci atau cinta
Ataukah hanya kiasan dalam bahasa penulisan
Wajahmu tampak berbeda
Tersirat sebuah kata
Bicaralah
Bicaralah agar kumengerti hatimu
PUDAR
Oleh: Rizky
Fajar Novella
Bergelanyut dalam diam tak berucap,
Bergeming tak terdengar.
Gonggongan di tengah malam,
Meraung kesakitan tanpa batas.
Pudar…
Peluh tetes kerja kerasnya memudar,
Tak terlihat tak terasa.
Waktu mengayuh cepat,
Roda-roda berputar dengan lambat.
Pudar…
Menarik kebahagiaan hingga lenyap,
Tak berbekas, tak tersisa.
Bulir-bulir kristal menetes merah,
Menghantam pilu gundah.
ZEUS
Oleh: Rizky
Fajar Novella
Dia berdiri menatap bumi,
Biru kelam matanya memandang.
Petir digenggamnya erat,
Terayun layaknya bianglala besar.
Dewa dewi tunduk padanya,
Mengikat janji hingga hayat tiba.
Mengangguk penuhi printahnya,
Perang tanpa takut pedang membelai mereka.
Hantaran amarah murka menerpa,
Mengayun getar hati yang lemah.
Tapi dia hanyalah sebatas dewa,
Tak ada yang melebihi sang Kuasa.
KELAM
Oleh: Rizky
Fajar Novella
Tangan besi merujuk dingin,
Mengayun tak berbelas kasih.
Merah air mengalir deras,
Senyuman maut terpampang.
Kepakan sayap hitam terbuka,
Malayang layaknya elang memburu mangsa.
Memburu para nyawa berdosa,
Mengikatnya dengan cambukan.
Alis hitam tebal bertautan,
Senyuman maut termpampang lagi.
Melesat cepat bagai rudal,
Jeritan malam mengisi kekosongan.
Bayangan dalam
Semu
(Romadotun Kasanah)
(Romadotun Kasanah)
Tatapan mata hitam legap
Ketajaman menembus rasa
Terus melekat tak terkikis
Hinggap dalam jantung
Menggetarkan raga
Bersama arungan detik yang berjalan
Mata sembab bukan menangis
Bibir tersenyum bukan karna bahagia
Tapi seseorang
Dia datang dan pergi
Meninggalkan hati yang terusik kegelisahan
Meratapi hangatnya pesona
Dalam keheningan hati
Ketika semua mulai terpejam
Bayang-bayang semu berkeliaran
Melompat kian kemari
Seperti mendekat
Tapi tak ingin tersentuh
Pada apa pun
Berjalan
Hari Minggu
(Romadotun Kasanah)
(Romadotun Kasanah)
Semilir angin
Berselimutkan
awan suram
Aku terus
berjalan
Menyusuri
pepohonan yang melambai bersama terpaan angin
Satu dua
angkot-angkot melewati
Sesekali
beriringan dengan langkah kaki kecilku
Oh udara yang
syahdu
Aku masih ingin
lebih lama
Menikmati
sejukmu
Tapi, kenapa kau
tak bisa hentikan awan
Menahan gerimis
yang mulai turun dan membasahi jaketku
Walau begitu,
ketenangan belum juga pergi dari hatiku
Masih saja
diriku dapat berjalan dengan santainya
Sambil menengok
kanan kiri yang sunyi
Jalan setapak
terus membujur di depan mata
Sungguh, indah
dan tenteram seperti jadi milikku saat ini
Aku, tak akan
menyesal
Berjalan kaki
melewati minggu pagi
Memoar dalam Sepi
(Romadhotun Khasanah)
(Romadhotun Khasanah)
Bayangmu menghias dalam malam sunyi
Tatapan mata binar
Keindahan tiada tara
Senyum serentak merekah
Bersama deretan gigi di balik bibir
Jiwa terasa terbang
Tatapan mata binar
Kesejukan tiada tara
Oh tampan....
Kenapa begitu menggoda?
Jiwa berayun bersama angin
Lambaian mesra
Tak kuasa ku tolak
Wajah yang mempesona
Bahu yang hangat
Dekapan yang erat
Seperti mimpi nyata
Dalam kesepian semata...
Puisi 1
Oleh: Sintya Arlita
Mataku silau
oleh sinar matahari
Matahari yang
membakar jiwa
Matahari yang
menelanjangi bumi
Matahari yang
hanya dapat ku gapai sinarnya
Ketika cucu adam merengek
Pepohonan bergoyang berisik
Membikin tuli telinga ini
Kelam membelenggu
Matahari yang
menggelora telah lengser
Aku meringkuk
ketika tulang dihantam angin
Dengan tangan
yang bergetar
Ku torehkan
tinta hitam di atas kertas semen
Puisi 2
Oleh: Sintya Arlita
Kepala ini
ditarik kuat oleh gravitasi
Hingga leher
tak kuasa menopang
Mata ini
merunduk terlalu berat
Hingga tak
sanggup terbuka sempurna
Lengkingan
yang memecut jantung
Hingga
nafas menjadi tersengal
Bibir tampak putih lengket
Hingga tak mampu untuk berucap
Merasakan
tubuh yang terkoyak
Terpaku,
tak mampu bergerak
Menantikan
sayap yang mengepak
Seraya
menunggu datangnya terbang
Puisi 3
Oleh: Sintya Arlita
Hujan
melebarkan sayapnya
Mengurung
daratan dengan riuh rintiknya
Tubuh
menggigil dengan kaki telanjang
Mata ini penuh
hendak menumpahkan sesuatu
Tenggorokan
ini sakit seakan tercekik
Larut dalam
lamunan
Lamunan yang
menuntun ke pusaran harapan
Resahku
Oleh: Wildan Bachtiar
Aku,
Tak tahu
mengapa.
Aku
disini.
Lebih
baik,
Aku tak
berada.
Disini.
Mungkin,
Lebih baik
aku turun.
Dan..
Meninggalkan
panggung ini.
Seutuhnya
Oleh: Wildan Bachtiar
Raga ini
satu.
Bukan dua
atau lebih.
Otak dan
hati yang tak bisa dipisahkan.
Bukan
malaikat dan juga bukan dewa.
Hanya
seorang hamba yang mengharap ridha-Nya.
Bukan pula
pelayan yang selalu ada untuk melayani.
Hanya membantu
sekuat raga ini.
Tak mudah
menanggung beban pundak.
Menjawab
semua nafsu para manusia.
Hanya berusaha
tersenyum dibalik topeng.
Mencampur segala
rasa;
Marah,
sedih, senang, susah
Dan
melangtangkannya kepada angin-angin yang entah kemana.
Tak berharap
lebih atau belas kasih.
Cukup Sang
Pemilik raga ini tempat kita untuk kembali.
Cerita
Mentari
Oleh: Wildan Bachtiar
Mentari
terbit.
Menyapa
tiap insan dan alam
Selalu ada
cerita baru.
Setiap
paginya.
Mentari
terik.
Memberi
semangat para pejuang.
Selalu ada
hal baru.
Setiap
siangnya.
Mentari
terbenam.
Memberi
keteduhan dalam raga.
Selalu ada
keindahan baru,
Setiap
sorenya.
Mentari
tertidur.
Bulan dan
bintang terbangun.
Selalu ada
perputaran baru.
Setiap
harinya.
Secercah Harapan Semu
Pengarang:
Elda Destirini
Sinar dari cahaya sang surya
menerangi dunia
Gemercik pancaran sinar yang
datang memberi harapan
Ingin rasa memeluk pancaran sinar
harapan itu
Namun apa daya ku tak bisa
meraihnya
Tangan ku tak dapat meraihnya
Meski telah ku coba berkali-kali
Aku ingin pergi berlari dari
semua ini
Melarikan diri dari kegagalan
yang ku raih
Mungkin mengejar kabut
Kabut hitam yang datang seolah
tak tau kemana arahnya
Kabut hitam yang misterius dimana
ia menjadi caci makian
Kabut hitam yang merasa tidak
salah tetapi ia harus pergi
Aku ini hanya manusia biasa,
Tuhan
Aku lelah
Aku lelah menjalani ini
Aku ingin pergi ke pesisir
Ingin ku bermain bersama ketam
Menikmati indahnya pantai bersama
ketam
Ketam makhluk ciptaanmu yang
mencapit tajam itu
Aku ingin dicapit olehnya, Tuhan
Aku ingin terbangun dan
disadarkan, Tuhan
Agar aku bisa tersadar bahwa hal
indah ini hanyalah mimpi
Merintih Lelah
Pengarang:
Elda Destirini
Saat aku terlelah
dari apapun semua
Aku merintih
kesakitan akan kelelahan yang aku pendam sendiri
Aku bertanya..
Adakah orang yang
dapat menolongku?
Adakah orang yang
dapat meringankan bebanku?
Sudah terlalu sering
rasanya mereka mendengar celotehanku
Mereka hanya ingin
mengetahui kisahku bukan membantuku...
Terkadang aku
pedih...
Terkadang aku
letih...
Adakah yang dapat
mengerti aku?
Adakah yang dapat
memahamiku?
Tersadar dalam
posisi tersujud...
Aku memahami, kini
hanya engkaulah yang dapat mengerti aku Tuhan...
Keadilan yang hakiki
Pengarang:
Elda Destirini
Tidakkkkkkk adaaaa
Selamat Jalan
Pengarang:
Ulya Tresna Safitri
Selalu lembut
Selalu harum
semerbak
Selalu indah
jika dipandang
Tak ada yang
boleh menyentuhnya
Tak ada yang
boleh memandangnya
Tak ada yang
boleh memilikinya
Ibu pun tahu,
Dialah sesuatu
yang paling ku sayang
Menutupi dari
sesuatu kekurangan
Mungkin sifatku
yang berlebihan
Membuatnya
seakan tertekan
Tertekan dengan
segala keadaan
pergi tanpa pesan dan alasan
panas itu seakan
merenggut nyawanya
ya…jeansku terbakar panasnya setrika
api tanpa wujud
membara
namun mampu
melahapnya
selamat jalan jeansku
Egois
Pengarang:
Ulya Tresna Safitri
Dimana ada kaca
Apa di rumah mu
tidak ada kaca
Apa jendela
rumah mu tidak terbuat dari kaca
Atau mungkin kau
tidak tahu bentuknya kaca
Mungkin
kesibukan itu telah mengangkat drajadmu
Pangkatmu telah
membutakan matamu
Apakah burukmu
sudah mencapai pucak
Atau masih dasar
sebuah keegoisan
Lalu kapan kau
mengakhiri egois mu
Apakah kami
harus menjerit dulu
Baru kau sadar
kelakuanmu
Aku takut jika
jeritanku melemahkanmu
Karna jeritanku
adalah kemuakan ku pada mu
Orang Gila Tanpa Nama
Pengarang:
Ulya Tresna Safitri
Tawanya seolah
tanpa sebab
Tangisannya juga
tanpa sebab
Bahagianya
adalah sebuah drama
Tiada detik
tanpa tepuk tangan
Kemudian
menyanyi
Kemudian
menangis sambil meringis
Hina di mata
yang memandangnya
Dianggap manusia
tak bermoral
Tapi,itulah dia
Orang gila tanpa
nama
Nabi
Terakhirku
Karya: Riri Safitri
Melihatmu seolah
jiwa ini jemu
Bagaikan
bertebaran bunga-bunga di relungku
Paras tenang dan
sahdu mu telah menenggelamkannku
Dalam buaian
kata-kata bijak bibirmu
Aroma khas tubuhmu bagai bak telaga surga
Membawaku
semakin jauh merana
Berenang
pun aku tak bisa
Karena
terbawa arus pancaran jiwa
Suaramu bagaikan
merintihkan telingaku
Akan nyanyian
kata-kata yang menyejukan jiwaku
Rasanya selalu
terngiang dan terbesit indah di hatiku
Menusuk langsung
rongga kokleaku
Tak pernah kurasakan amis dalam
lintasan sanubarinya
Justru selalu manis kurasakan
jadinya
Sekali hambarpun kutambahkan garam
untuknya
Sebuah hidangan kasih sayang
teruntuk dirinya
Yah dirinya diri
yang selalu ingin kuraba
Dengan tangan
putih bersih bekas air wudhu yang suci amalannya
Menghias sahdu
cinta kasih rahmat illahi robbi pada awalnya
Menjujung
fatamorgana dunia penuh rasa dosa
GELORA
Karya: Riri Safitri
Aku bukanlah bandit cintamu
Cinta yang merenggut keabadian hatimu
Pikiran yang jahat tak akan kulakukan
Ya, tak akan ku lakukan karena ku mencintaimu
Cinta yang suci tak akan menembakkan pistol kematiannya
Pistol jiwa yang membawa merana
Merasuk terjerumus oleh dosa
Di kutuk dan dihujat yang Maha Kuasa
Karena cinta ini pun jangan lah kita menjadi Al Capone
Manusi bertopeng,penuh dengan sandiwara
Jahat, kejam, bengis namun berhati bak mawar semerbak
JIWA
Karya: Riri Safitri
Ya
aku bukanlah Imam Asy Syafii
Yang selalu bercumbu mesra dengan kitab
Al-Muwathahanya
Akupun bukanlah Imam Malik
Yang hafal nasab dan sejarah Arab
Dan akupun bukanlah Ath Thabari
Seorang
ahli tafsir yang terkenal namanya
Aku juga bukan Siti Aisyah
Yang mampu menghafal hadist terbanyak
dikalangan sahabiyyah
Tapi,
diriku hanya seorang hamba yang penuh akan dosa
Tak ada yang
pantas aku banggakan akan diri ini kepadaMu
Hanya hitam yang
kelam berbecak tulang kering yang busuk baunya
Hidup
yang hanya penjara iman
Jiwa
yang terlena akan rindangnya pohon tempat pengistirahatan semata
Membawa
kaki melangkah bingung jadinya
Kadang
hati merespon ke otak yang sedang merungkuk hambar jadinya
Meliuk-liuk
bagai spiral tak ada ujungnya
Sebenarnya
jelas kenapa aku tak membaca?
Benar
kenapa aku tak memahaminya?
Lembaran
Al-Quran yang jelas dari Allah
Tak
pernah memuji dunia penuh fatamorgana ini
Begitupun
dengan hadist Rasullulloh
Selama ini aku
bagai orang buta
Buta dengan
petunjuk yang ada
Allah berikan
selalu aku hidayahMu
Bersujud
tersungkur memuji namaMu
Lekatkan hati
atas namaMu
Untuk selalu
menjaga iman ini diatas jalanMu
Kosong
Pengarang:
Aisyhah Nur Oktaviani
Ku ketuk-ketuk
Tak ada jawaban
Sekali lagi ku ketuk-ketuk
Tak ada suara
Kuberanikan membuka
Yang kudapat hanya hembusan angin
Tak ada seorang pun di di dalam
Hanya kekosongan yang
ada
Bara
Api
Pengarang:
Aisyhah Nur Oktaviani
Warnanya merah menyala
Menyentuh berarti terluka
Ada yang mau memainkannya?
Aku rasa tidak
Dan jangan pernah mencoba bermain-main
Bisa saja dia balik mempermainkanmu
Dan melukai dirimu secara perlahan
Bersiaplah bara api menangkapmu
Bunga
Tidur
Pengarang:
Aisyhah Nur Oktaviani
Ketika mata ini terpejam
Ada cerita baru yang kutemui
Alurnya sedikit aneh
Tokohnya pun tak begitu jelas
Semuanya terlihat samar-samar
Setelah kubuka mata ini
Aku mulai tersadar
Kalau itu yang dinamakan
Bunga tidur
Ya bunga tidur
Yang mengantarkan ku bertemu seseorang
Seseorang yang sudah kukenal lama
Bahkan selama ini aku bermimpi
Suratan
Kelam
Pengarang: Sayida Fitri Anisa
Tergambar
dari ilalang panjang,
Bertinta
hitam, air muka Asoka malang
Lompat,
diam, tersentak lamunan
Tersurat
tanda bermakna kelam,
Hilang
lebur dalam makna
Lihai
memainkannya,
sebagai
jati dari diri
yang
selalu tersebut hilang.
Mati
dalam garis darah asa.
Pada
Mata
Pengarang: Sayida Fitri Anisa
Warna-warni
tali.
Saat
ku pahami warna.
Tali
itu berukuran,
Saat
ku mengerti panjang dan pendek.
Di
dadaku pun dada mu dan dada mereka.
Sering
ku pertanyakan tali itu
Ketika
rasaku masih polos
Boleh
Kau tanyakan tali itu kepadaku
akan
berakhir dimana tali dadamu.
Jujur
saja ragu yang mereka nyatakan,
Tidak
berlaku pada mataku.
Ketika
rahasia dapat melihatku
Dan
Aku dapat menyiratkan rahasia
Bukankah
begitu yang didambakan.
Bak
manusia candu harap pada cahaya yang turun ke ubun.
Ketika
Kau dapat melihat rahasia
yang
termangu menjadi masalah setiap urusan.
Bagiku
tidak.
Untuk
dunia yang terlampau lugu.
Titik
Terang
Pengarang: Sayida Fitri Anisa
Kanan
pisau, kiri garpu
Di
meja bermenu batang kuldi.
Aku
mendekat pada satu titik temaram,
entah
apa temaram sering menawan.
Aku
ingin terikat pada yang silam
Hilang dalam pekatnya hitam karena putih.
Mawarku
Pengarang: Mochamad Fajar Setiawan
Bunga bunga di petarangan mulai menguning
Pertanda lahan pun mulai tak subur lagi
Begitu pun hatiku dan sebuah mawar merah dikamarku
Mawarku pun telah layu
Tak ada seorang putri yang mau merawatnya
Mengapaa...........
Dalam hati yang sepi ini bertanya
Tuhan apasalah mereka ?
Mereka cantik indah dan harum mengapa kau membuatnya layu ?
Tuhan tersenyum melalui bulan dan anginpun menutupi cahayanya
Ketika angin dingin itu berhembus menusuk hati
Kini aku menjadi tahu kenapa mereka harus mati
Peka lah terhadap alam maka alam pun akan memberi jawabanya
Pertanda lahan pun mulai tak subur lagi
Begitu pun hatiku dan sebuah mawar merah dikamarku
Mawarku pun telah layu
Tak ada seorang putri yang mau merawatnya
Mengapaa...........
Dalam hati yang sepi ini bertanya
Tuhan apasalah mereka ?
Mereka cantik indah dan harum mengapa kau membuatnya layu ?
Tuhan tersenyum melalui bulan dan anginpun menutupi cahayanya
Ketika angin dingin itu berhembus menusuk hati
Kini aku menjadi tahu kenapa mereka harus mati
Peka lah terhadap alam maka alam pun akan memberi jawabanya
Terbit Bersama Sang Matahari
Pengarang: Mochamad Fajar Setiawan
Dalam pagi
yang gelap dan dinginya menusuk tulang
Terpijar sebuah kehangatan sinar putih....
Terlahir anak laki-laki kecil mungil tanpa sehelai benang melilitnya
Jeritan-jeritan kecil mulai mengisi dan menghangatka jiwa
Raja-raja langit melihat kebawah kedalam dunia yang penuh dengan sandiwara
Seakan mereka tahu bahwa anak ini akan menjadi orang yang berbakti
Didalam jiwa anak itu terukir bahwa ketika sudah sekali berarti sesudah itu mati
Dan didalam pepatah nusantara harimau mati meninggalkan belang
Namun jika manusia mati meninggalkan nama
Tak tahu kapan suratan takdir itu datang
AKU TERBIT BERSAMA MATAHARI
DAN AKU TENGGELAM BERSAMA SURATAN ILAHI.........
Terpijar sebuah kehangatan sinar putih....
Terlahir anak laki-laki kecil mungil tanpa sehelai benang melilitnya
Jeritan-jeritan kecil mulai mengisi dan menghangatka jiwa
Raja-raja langit melihat kebawah kedalam dunia yang penuh dengan sandiwara
Seakan mereka tahu bahwa anak ini akan menjadi orang yang berbakti
Didalam jiwa anak itu terukir bahwa ketika sudah sekali berarti sesudah itu mati
Dan didalam pepatah nusantara harimau mati meninggalkan belang
Namun jika manusia mati meninggalkan nama
Tak tahu kapan suratan takdir itu datang
AKU TERBIT BERSAMA MATAHARI
DAN AKU TENGGELAM BERSAMA SURATAN ILAHI.........
Tired
Pengarang: Mochamad Fajar Setiawan
Tergeletak
tubuh ini ditelan malam
Rasa sudah tak dapat lagi merasakan berputarnya dunia
Entah sudah sampai manakah cerita ini berjalan
Tak terasa lelah tubuh ini merasakan sakit
Apa yang engkau rahasiakan Tuhan
Hanya dengan petunjukmulah aku dapat berjalan
Rasa sudah tak dapat lagi merasakan berputarnya dunia
Entah sudah sampai manakah cerita ini berjalan
Tak terasa lelah tubuh ini merasakan sakit
Apa yang engkau rahasiakan Tuhan
Hanya dengan petunjukmulah aku dapat berjalan
Kau Kepadaku
tentang Dia
Oleh: Anggreana Pratiwi Queen
Sipayung
Kala itu saat kita masih sedekat nadi
Kau benar-benar tunjukkan padaku
Apa itu arti kebersamaan
Apa itu arti keindahan
Ketika aku di sampingmu
kita berjalan, kita bertengkar, kita
tertawa
kau membutuhkanku, begitu juga aku
banyak cerita yang selalu kau sampaikan
padaku
bahagia saat mendengarmu bercerita
lebih sederhana lagi, bahagia saat
melihatmu saja
banyak tempat yang menjadi saksi bisu
kita
yang menjadi tempat saat kau bercerita
kepadaku
dan aku hanya diam saja, melihatmu,
mendengarmu bercerita
tahukah kau? Saat itu, saat kau
bercerita banyak tentangnya
aku tak terlalu memperdulikannya
karena ketika berada di suatu tempat
apapun itu
berdua saja denganmu sudah membuatku
bahagia
walau cerita itu adalah selalu tentang
dia
sahabatku, yang kau cintai
Setidaknya Pernah Bersama
Oleh: Anggreana Pratiwi Queen
Sipayung
Hari demi hari yang kita lewati
Bagiku itu adalah hari yang menyenangkan
Mungkin kau tak sependapat denganku
Karena yang kau inginkan adalah dia
Sedangkan aku adalah jembatan
Tapi aku sangat menikmati ini
Menikmati kebersamaan yang berujung
kepada rasa
Rasa yang salah, mungkin
Tapi apakah pantas rasa itu disalahkan
ketia ia muncul saat seperti ini
Saat dimana kita sering bersama, kita
sering bersentuhan
Meski yang selalu menjadi topik
perbincangan adalah dia
Sahabatku yang kau cinta.
Saat itu kau bercerita kembali, aku
ingat sore itu
Kau sedih, karena sahabatku tak kunjung
memberikan hatinya
Kau selalu bertanya padaku, meminta
saranku
Dalaam hati aku bertanya
Tak bisakah kau menikmati kebersamaan
ini?
Tak bisakah kau melihat tatapanku?
Atau apakah hanya dia yang mampu
memenangkan hatimu?
Saat itu kulihat kau begitu
mengharapkannya
Sampai-sampai kau tak menyadari selama
ini yang bersamamu
Menyayangimu seperti kau menyayanginya
Yah, setidaknya pernah bersama
Walau dalam keadaan yang tidak tepat
Kenangan dan Rindu
Oleh: Anggreana Pratiwi Queen
Sipayung
Aku menginginkannya tapi kau begitu
indah
kau begitu sempurna dan akulah
penontonnya
Penonton yang hanya berjiwa penonton yang
tak berani mengambil peran,
ah persetan dengan mengungkapkan,
aku pikir menikmati adalah cara satu -
satunya untuk bertahan
meski ku tau ini tak kan bertahan lama
Setidaknya kita pernah sedekat nadi,
atau apakah hanya aku yang merasa kita
sedekat nadi
yang mungkin kau simpulkan bahwa kita
hanyalah sedekat matahari?
tentu bagiku itu sangat jauh, tapi
bagimu berbeda
karena sedekat matahari maupun sejauh
matahari bukanlah berarti apa-apa untukmu,
yang kau inginkan untuk sedekat nadi
bukanlah
pada awalnya mengenalmu adalah suatu
kebahagiaan
yang tak tau bagaimana untuk
mengatakannya,
tawa yang tak biasa, bahagia yang
berbeda
hingga semua menjadi kenangan yang sama
sekali tak kuinginkan
kenangan? jika bisa aku tak pernah ingin
ada kenangan,
tapi waktu selalu mengikuti arah dan aku
bisa apa?
aku ada di bawah waktu yang
mengikutinya.
Tapi setidaknya aku sangat bersyukur
Pernah melakukan banyak hal bersamamu
Dan Semarang adalah saksi bisu
Betapa indahnya rasa yang aku punya
Meski berujung pada hening yang tercipta
akan kita berdua
Aku rindu, kita
Yang belum pernah ada
Pengarang: Bintang Aksama Dinihari
Dingin aspal
pinggir jalan.
Pembatas jalan
kita menepi, sepi.
Aku menunjuk
langit hitam
sedikit bintang
dengan securit bulan,
mengancam kita
untuk jangan macam-macam.
Angin menderai
pelan,
menuntun
tanganku
menekuk jarimu,
pelan.
kau diam saja,
biar senyum yang bicara
apa ada yang
bertanya?
apa aku
bahagia?
kemari, akan
kupukul kau tepat di kepala
Pada suatu
petang,
yang belum pernah ada.
yang belum pernah ada.
Selamat malam,
cantik.
Setiap malam
aku tercabik.
Sepi kelam
semakin mengusik.
Dingin udara menyanyi
tanpa lirik.
Menuntun kepala
pena yang kucekik.
Menggores
kertas yang tak lagi berkutik.
Ini tak lagi
menarik.
Ketika cinta ku
tak terbalas balik.
Namun kau tetap
saja terlihat cantik.
Itu saja,
titik.
Menjadi Aku
Pengarang: Bintang Aksama Dinihari
Dulu aku pernah
sabar, hingga sekarang tidak ada bedanya
Dengan gelap malam yang selalu aku tentang dengan lampu-lampu temaram
Sampai lupa ada gelap lain setelah kelopak mata terpejam
Lalu lepaslah rindu membalas dendam
Dengan gelap malam yang selalu aku tentang dengan lampu-lampu temaram
Sampai lupa ada gelap lain setelah kelopak mata terpejam
Lalu lepaslah rindu membalas dendam
Biar aku munafik
Karena aku tidak mau jadi nabi sendirian
Karena aku tidak mau jadi nabi sendirian
Biar aku tercabik
Karena aku tidak mahir jadi karang dalam peran
Karena aku tidak mahir jadi karang dalam peran
Karena hari
kemarin tak akan pernah berubah
Seperti ketika aku berkata sudah karena lelah
Seperti ketika aku berkata sudah karena lelah
Menjadi aku
yang tak pernah temu
wahai kau, perempuanku.
wahai kau, perempuanku.
Banjarnegara,
28 Agustus 2014
PELUKAN
SEMU
Malam
berganti malam
Dingin yang
semakin tajam menusuk jiwa
Ingin rasanya
kupeluk ragamu agar hangat tubuh ini seperti saat aku kecil dulu
Kurasakan
kenyamanan yang entah mungkin tak akan ada lagi pelukan yang dapat menggantikan
hangatnya pelukmu
Tapi kini
hanya doa yang terselip sejuta kasih sayang yang dapat aku berikan untukmu
Maafkan
diriku yang belum sempat menepati semua janji yang ku ucap padamu
Hingga dirimu
pergi secepat itu
Walaupun
ragamu kini tak lagi bisa bersamaku, tapi hati ini selalu hangat akan pelukan
kasih dan cinta yang dulu sempat kau berikan untukku
Terimakasih
atas semua perjuanganmu hingga dapat membuat diriku seperti sekarang
Tanpamu aku
tak akan jadi apa-apa
Kaulah
Satu-satunya wanita yang menjadi pahlawan dalam hidupku
Pengarang: Adhi Wahyu Pratama
Kesalahan
Malam telah berganti
Udara dingin menyapa tubuh ini
Di ruang yang kosong ini
Aku masih duduk termeneung
Memikirkan kesalahan
Kesalahan di masa lalu
Kesalahan yang mungkin sulit untuk dimaafkan
Jiwaku
tak tenang
Kacau
Terasa
hanccur
Oh
Tuhan, akankah ku temui jalan keluarnya suatu saat nanti?
Kita
Di hari ini, satu tahun yang lalu
Kita pernah saling membahagiakan
Kita pernah saling menjaga
Sebelum akhirnya dipisahkan
Dan
hari ini
Aku
melihatmu sedang tersenyum bahagia
Bersama
dia orang yang kau cinta
Kalian
terlihat seperti kita dahulu
Begitu
bahagia dan saling menjaga
Aku tak bisa menyembunyikan perasaan ini
Namun aku juga tidak bisa melwan garis takdir
Aku hanya bisa menerima kenyataan
Bahwa kini kau bukanlah milikku
Pengarang: Adhi Wahyu Pratama
Hilang
Pengarang: Rina
Tri Andriyani
Ada yang janggal dari senyuman itu
Senyuman itu
Pelukan itu
Rasanya tidak sehangat dahulu
Teringat
akan kisah masa lalu
Dimana
semua masih terasa hangat
Tidak
ada kepura-puraan
Mengapa harus bertahan jika hanya berpura-pura
Kau buat luka yang semakin dalam
Sunguh….
Aku tak mampu lagi berkata-kata
Aku tak mampu lagi berkata-kata
Kau
Oleh: Lathifatul Ulya
Aku
tak mengenal kau
Kau
pun tak mengenalku
Lalu?
Darimana kita saling tau?
Apa
kau yang mencariku?
Atau
aku yang mencarimu?
Ataukah
kita sama-sama saling mencari?
Ah,
sudahlah yang ku tau itu….
Kita
memang dipertemukan oleh takdir
Anggap
saja ini hadiah oleh-Nya
Dari
doa-doa yang kita panjatkan
Cinta
Oleh: Lathifatul Ulya
kau
datang bersama cinta
memadu
kasih seindah cinta
tak
kusangka kaulah yang kucari
indahnya
hariku menatap dirimu
dan
bahagianya diriku bersamamu
tak
pernah ku sebahagia ini
menjalin
sejuta kisah dan kasih
aku
bersyukur mengenalmu
denganmu
ku mengerti cinta
denganmu
ku mengenal cinta
denganmu
aku menatap indahnya dunia
dan
denganmu…
betapa
indahnya cinta dunia denganmu
Tak Selalu Indah
Oleh: Lathifatul Ulya
awalnya
kukira indah
tak
ku sangka akan begini
mawar
yang dulunya merah
kini
layu dimakan luka
kecewa
dan kesedihan itulah tandanya
salah
apa aku padamu?
Hingga
kau lupa dikala dulu
Awal
kita bertemu, mengenal dan menjalin kasih
Bodohnya
diriku ini..
Bermimpi
tuk selamanya bersamamu
Kukira
akan menjadi kenyataan
Namun
memang itu sebatas mimpi
Hanya
sebatas mimpi
IBU
Pengarang: Batari Arumdani
kau selalu tersenyum
kau tak pernah melihatkan kesedihanmu
kau selalu tegar menghadapi masalah
kau yang selalu memberikan pelukan hangat untuk ku
ibu
kau Tak pernah letih untuk menjaga anakmu ini
Rela mengorbankan semua hal, demi kebahagian ku
Ibu
Kau adalah
sandaran ku
Kau adalah panutan
ku
Karena tanpa ibu
aku bukan siapa – siapa
Terima kasih ibu,
kau telah memberikan segalanya untuk ku
Memberikan nasehat
dan kebahagian yang kelak akan bermanfaat bagiku
Maafkan aku ibu,
jika tidak bisa membalas semua kebaikan mu
Dan kebahagian
yang pernah kau berikan kepadaku
Ibu
Mimpi
Pengarang: Batari Arumdani
Senyuman itu jelas terlihat
Bercahaya ditengah kegelapan
Bak rembulan menerangi malam
Rinduku enggan meninggalkan sosok dirimu
Namun aku tidak ingin menyelam lebih
dalam
Seperti pasir yang selalu ada di pinggir
pantai
Kau seperti pelangi dalam hidupku
Memberi warna indah, disetiap aku
memandang mu
Kau seperti bintang
Yang selalu menemani terangnya malam
Namun
terkadang kau hanya menjadi hamparan angkasa
Yang
ingin kumiliki, namun tak sanggup ku gapai
Menghalangi
jalan kedapan ku nanti.
Sahabat
Pengarang: Batari Arumdani
Kau bilang aku ini teman
Kau bilang juga aku ini sahabatmu
Tapi kadang, kau bilang aku ini musuhmu
Kau ini siapa
Sahabat
Iya,
sahabat yang selalu pergi entah kemana
Kau
saja tak bisa mengenali dirimu sendiri
Bagaimana
kau bisa mengenali sahabatmu
Kau
hanya datang disaat kau butuh saja
Apakah
itu yang dinamakan sahabat
Entahlah
Kamu yang
biasa-biasa saja,
Namun membuat aku
tergila-gila,
Namun membuat aku
patah hati,
Ini dari aku yang
ingin melarikan diri dari rasa,
Ingin tidak
ingat, ingin pura-pura tidak ada,
Ingin kembali ke
hari pertama kali kita bertemu
lalu mengucap
selamat…
Lesu dan Jemu
Pengarang: Nurul Sabrina
Lesu
Semua datang menderu
Laju
bagai peluru
Masa
begitu cemburu
Cepat
sekali berlalu
Rasa
tak cukup waktu
Jemu
Menjeruk
rasa kalbu
Mata
terasa layu
Rasa
ingin beradu
….
Kuyu
Keinginan dan
harapan
Pengarang: Nurul Sabrina
Keinginan
itu laksana sebuah samudra
Yang
tanpa tepi
Manusia
hanya bisa berusaha
Karna
kepunyaan insan yang mulia
Hanya
harapan
Namun
tak semua harapan
Akan
berbuah kenyataan
Kesedihan
Oleh: Ratu Ana Sofiana
Malam itu, malam yang begitu indah
kulalui bersama sahabatku
Tertawa tak kenal lelah sampai larut
malam dan sampai tertidur pulas dengannya
Malam yang panjang se akan berhenti
dengan deringnya telfon berbunyi
Terbangun dan bergegas mengangkat telfon
Suara yang begitu jelas tak tahu siapa
yang berbicara
Hanya sepenggal kalimat berpesan
menyuruhku untuk pergi untuk pulang ke rumah
Rumah yang selalu aku rindukan setiap
saat
Bingung panik aneh yang kurasakan
Bergegas pulang mungkin jawaban yang
tepat dari pertanyaan pertanyaan yang ada dibenakku
Waktu begitu singkat menjawab semua
pertanyaanku
Bendera putih terkibar dengan tegakknya
Keramaian, tangisan se akan membawa
kakiku melangkah lebih dalam ke rumah
Iya lebih dalam dalam pada kesedihan
Siapa kira pagi yang begitu indah menjadi
pagi yang menyedihkan
Sesosok pria terkujur kaku di tengan
ruang tamu dengan balutan kain putihnya
Berteriak menangis itu yang terjadi
padaku
Mempikah pagi itu? Tidak! Semua benar
benar nyata
Pagi yang indah membawaku pada pertemuan
terakhirku dengan pahlawanku, Bapakku
Pahlawanku yang ku sayangi pergi dengan
tenangnya
Tenanglah di alam yang lebih indah
Disini aku tersenyum iklas untukmu
Wahai pahlawanku Bapakku aku mencintaimu
Kamu
Oleh: Ratu Ana Sofiana
Waktu berlalu begitu cepat
Menghapus semua kesedihan yang datang
menghampiriku
Seperti bunga yang layu se akan mekar
begitu indah dengan cepatnya
Seperti itu pula diriku
Sesosok pria tinggi telah berhasil
membuat kesedihan se akan sirna begitu cepat
Kamu, kamu yang jauh disana
Yang akan selalu aku rindukan selalu aku
banggakan
Dengan tingkahmu dengan segala kata
indahmu
Membuatku tersenyum setiap kali
bersamamu
Tetaplah ciptakan senyumku dari dirimu
Akan ku tunggu kau di tempat terindah
yang selalu kita impikan
Jarak kita tidak akan menjadi musuh
terbesar kita
Tetaplah disati hati dan tetaplah
bersamaku
Seperti
bulan dan bintang yang selalu membuat indah di malam hari
Sahabatku
Oleh: Ratu Ana Sofiana
Hidup
ini hampa jika tanpa seorang sahabat
Hampa
jika tak dilalui bersama sama sahabat
Iya! Itu benar
Sahabat segala galanya
Tanpanya apalah kita
Sahabat ada tanpa kita suruh tanpa kita
minta
Penasehat terbaik pendengar terbaik
Wahai sahabatku, yang tersayang dan
terkasih
Jangan pergi dikala aku membutuhkanmu
Kemanapun kau pergi ingatlah aku selalu
Selalu dalam memorimu
Tak ada yang lebih bahagia jika kau
terus ada disampingku
Wahai sahabatku
Hujan
Oleh: Ratu Ana Sofiana
Seketika awan menghitam
Langit gelap
Seperti awan ingin
berkuasa hingga menutup sang mentari
tetasan air langit pun
mulai membasahi bumi
seakan awan sudah tak
lagi dapat menampung keringatnya sendiri
tetesannya kini semakin
deras, bagaikan pasukan yang mengepung bumi
namun selalu,
kedatangannya membawa kesejukan bagi kehidupan
dan aku menyukainya
Ketakutan
Oleh: Ratu Ana Sofiana
Suasan ini mencekam
Suara petir yang setiap
menitnya seperti menghantam bumi terdengar menggelegar
Aku hanya dapat terdiam
seperti pengumpat
Di sini di ruang ini aku
berteman dengan para benda mati
Tak ada cahaya yang
terang
Hanya sepercik lilin
yang berusaha tenang diterpa angin yang menyelinap masuk
Alis ku terus mengerut
Bibir ku tergigit
Mendengar gemuruh melodi
langit
Siapa pun itu, ku mohon,
temani aku
Cahaya Tanda Kehidupan
Oleh: Ratu Ana Sofiana
Jika berkilas
balik
Dulu aku masih
sangat kecil, belum terbentuk hingga akhirnya membentuk
Hidup didalam
dengan nyaman dan terlindungi
Tak pernah aku
lihat adanya cahaya namun aku dapat merasakan kehangatan
Gelap memang
namun aku menikmati
Sembilan bulan
aku hidup didalam
Berteman dengan
gelap sebelum cahaya itu benar benar aku nikmati
Waktu itu pun
datang, aku mulai merasakan seperti ada yang mendorong ku keluar
Disaat itu pun
aku mulai menikmati cahaya
Entah apa yang
aku rasakan namun aku menangis pada saat itu
Aku menyukai
cahaya, karena bagi ku cahaya adalah tanda adanya kehidupan
Aku terlahir,
aku hidup
Aku dapat
melihat banyak warna yang tak aku temui saat berada didalam
Ya, cahaya ini
menjadi tanda awal kehidupan ku di dunia
Hujan dan Senja
Pengarang: Rizky Nur
Istiqomah
Seperti suasana di malam hari ini
Ku dapati senja jingga di ujung sana
Dalam untaian hujan yang turun di bumi
Dan resahpun mengingatkan hati ini padamu
Ku nikmati sedikit goresan waktu yang telah tiba
Di sudut sana pandang penuh makna
Diamkupun merobek sebagian hati
Gelisahpun hadir dalam sepenggal rasa ini
Hujan di senja sore , kali ini dan di hari ini
Andai saja dapat kita nikmati bersama
Meski tubuh kita mengigil dalam percikan
Namun matamu , menghangatkan hatiku
Ku dapati senja jingga di ujung sana
Dalam untaian hujan yang turun di bumi
Dan resahpun mengingatkan hati ini padamu
Ku nikmati sedikit goresan waktu yang telah tiba
Di sudut sana pandang penuh makna
Diamkupun merobek sebagian hati
Gelisahpun hadir dalam sepenggal rasa ini
Hujan di senja sore , kali ini dan di hari ini
Andai saja dapat kita nikmati bersama
Meski tubuh kita mengigil dalam percikan
Namun matamu , menghangatkan hatiku
Rindu
Pengarang: Rizky Nur
Istiqomah
Rindu, seperti apa rindu itu?
Akupun tak mengerti dengan rasa itu
Atau mungkin, rindu ini terlalu indah untuk aku rasakan?
Kau yang terpisah
dengan jarak dan waktu
Aku, hanya bisa menunggu waktu untuk berjumpa
Tanpamu, langkahku semakin berat
Tanpamu, keindahan duniapun serasa hilang
Tanpamu, seperti sesat yang tak tahu arah
Aku merindukan semua tentangmu
Apakah, kamu merasakan hal yang sama?
Atau, hanya aku saja yang merindukanmu?
Ah, sudahlah.
Dalam
Keraguan Aku Mencari
(Cahaya,
Kabut, Ketam)
Pengarang: Rizky Nur
Istiqomah
Ketika cahaya senja
melukiskan awan dan langit
Di sini aku masih terdiam, terdiam memikirkanmu yang entah dimana
Dan ketika malam datang dengan penuh kerinduan
Aku masih saja terdiam, aneh.
Kasih yang di ujung hari itu
Ku ungkap saja dengan nyanyian senja
Suatu hari nanti, adakah yang akan mengerti?
Dan ketika malam datang, adakah yang akan peduli dengan semua ini?
Kemana diri ini hendak ku labuhkan?
Sedangkan arah saja tertutup dengan kabut.
Kabut yang hitam, gelap, dan yang pasti tak terlihat.
Namun, apakah kabut itu akan menghilang?
Cari cari dan tetap ku cari
Tapi, hingga saat ini aku masih belum menemukan mu
Sampai kapan aku harus mencari?
Mungkin, aku akan bosan dengan semuanya.
Kau tahu di dalam lautan itu ada kehidupan?
Kehidupan yang mempunya makna tersendiri
Hanya merekalah yang mengerti
Bicara terlukis tanpa suara yang tak terdengar
Dalam lautan itu pasti ada seekor ketam
Ketam yang bisa saja naik ke darat
Dan kemudian ia menyelam lagi ke laut
Ketam itu hanya bisa melihat, mendengar dan merasakan indahnya alam ini
Di sini aku masih terdiam, terdiam memikirkanmu yang entah dimana
Dan ketika malam datang dengan penuh kerinduan
Aku masih saja terdiam, aneh.
Kasih yang di ujung hari itu
Ku ungkap saja dengan nyanyian senja
Suatu hari nanti, adakah yang akan mengerti?
Dan ketika malam datang, adakah yang akan peduli dengan semua ini?
Kemana diri ini hendak ku labuhkan?
Sedangkan arah saja tertutup dengan kabut.
Kabut yang hitam, gelap, dan yang pasti tak terlihat.
Namun, apakah kabut itu akan menghilang?
Cari cari dan tetap ku cari
Tapi, hingga saat ini aku masih belum menemukan mu
Sampai kapan aku harus mencari?
Mungkin, aku akan bosan dengan semuanya.
Kau tahu di dalam lautan itu ada kehidupan?
Kehidupan yang mempunya makna tersendiri
Hanya merekalah yang mengerti
Bicara terlukis tanpa suara yang tak terdengar
Dalam lautan itu pasti ada seekor ketam
Ketam yang bisa saja naik ke darat
Dan kemudian ia menyelam lagi ke laut
Ketam itu hanya bisa melihat, mendengar dan merasakan indahnya alam ini
Namun, kehidupanku
bukanlah seperti ketam
Aku adalah aku
Ada rasa ingin bersama, untuk saling mengasihi, dan semestinya aku ada hati.
Hati untuk merindu dan di rindui.
Semoga, ketika cahaya senja itu menghilang aku bisa menemukan cahaya lainnya di pagi hari esok
Sekarang, cahaya adalah harapanku untuk menemukan mu
Semoga, ketika kabut itu menghilang, perasaanku masih tetap sama.
Dan semoga, kehidupanku kelak yang belum tentu kehidupanmu juga tidak seperti ketam di lautan itu.
Aku adalah aku
Ada rasa ingin bersama, untuk saling mengasihi, dan semestinya aku ada hati.
Hati untuk merindu dan di rindui.
Semoga, ketika cahaya senja itu menghilang aku bisa menemukan cahaya lainnya di pagi hari esok
Sekarang, cahaya adalah harapanku untuk menemukan mu
Semoga, ketika kabut itu menghilang, perasaanku masih tetap sama.
Dan semoga, kehidupanku kelak yang belum tentu kehidupanmu juga tidak seperti ketam di lautan itu.
Sesalku Telah Mencintaimu
Pengarang: Annisa Maghfirani Ramadhan
Tangisku bukan air matamu
Tawaku tak hadir dalam semyummu
Kenangan yang selalu menghantuiku
Menghantui di setiap ingin ku
melupakanmu
Entah
berapa lama aku terdiam dalam lamunanku
Entah
berapa kisah harus kutulis dalam kisah ku
Kumuak
dengan kelemahanku
Kubenci
dengan kegagalanku melewati hari dengan bayangmu
Ku ingin pergi dari kenangan ini
Dari kenangan indah yang dulu pernah
engkau beri pada ku
Penyesalan
memang tiada guna
Karena
sesalku telah mencintaimu
Kasihku dibuai
Anganmu
Pengarang: Annisa Maghfirani Ramadhan
Engkaulah penjaga hati ini dari segala
rayuan-rayuan yang ada
Hanya padamu kutambatkan hati ini
Kuingin memilikimu seutuhnya dalam jiwa
dan raga
Tanpa terbuai anganmu yang penuh imaji
Memilikimu dalam tubuh ini
Menikmati jiwa raga ini bersamamu
Didalam angan ini kuserahkan hatiku
untukmu
Wahai pujaan milikilah aku
Dalam nyata maupun fana
Baktiku untukmu
Pengarang: Annisa Maghfirani Ramadhan
Kau merawatku segenap hatimu
Tanpa pamrih dan imbalan
Membesarkanku dengan secercah harapan
agar kelak menjadi idaman
Bapak, kau
berjasa bagiku
Menyayangiku
dengan caramu
Tanpa peduli
sakitnya dirimu
Ibu, kau berharap padaku
Dengan cahaya kasih sayang
Menghangatkanku hingga aku dewasa
Apalah dayaku
Yang hanya bisa
membuat kalian bahagia
Dan tersenyum
atas prestasi yang kuraih
Baktiku untukmu
Tidak akan cukup hingga akhir hayatku
Pemanah Dunia
Oleh: Nur Eka
Wahyuni
Sekumpulan orang berbadan tegap
Dengan busur-busur azam dan tekad di
tangannya
Tatapan tajam
Lengan yang kuat
Membuatnya tak pernah meleset
Panglima-panglima perang
Tak segelintir rasa takut di wajahmu
Meski nyawa jadi taruhan
Panglima-panglima perang
Taklukkanlah musuh-musuhmu
Panglima-panglima perang nan gagah
Bersiaplah untuk meluncurkan busur-busur
azam dan tekad
Untuk mencapai kemengan bersama
Menggenggam dunia
Beku
Oleh: Nur Eka
Wahyuni
Perasaan apa
ini?
Rasa apa yang
hinggap di dalam hati kecilku ini
Engkau yang
selalu menghiasi wajahku dengan senyum kebahagiaan
kini justru
menorehkan kebekuan diantara obrolan kami
dua mata yang
tak lagi saling menatap
dan dua pribadi
yang tak lagi bisa menyatu.
Aku tak sanggup
hidup dalam kebekuan seperti ini
Ada kekosongan
dalam hati ini
kehampaan ini
membuatku tersiksa
Saat kucoba
sedikit mencairkan dengan sebuah kata sederhana
Kau seolah tak melihatku
yang selalu
menantikan kedatanganmu
menunggu
cerita-ceritamu
merasakan keluh
kesahmu dan selalu memperhatikan dari jauh
Kehangatan yang
kau tawarkan
Kau ganti dengan
sikap dinginmu
Sinarmu terlalu
terang hingga
aku tak bisa
melihatmu dengan jelas
bahkan aku tak
bisa sedikit pun mendekatimu
Aku hanya bisa
menatapmu dari kejauhan
memperhatikanmu,
menanti kehadiranmu
Kehadiranmu yang
tak kunjung datang ....
Puisi untuk Ibu
Oleh: Nur Eka
Wahyuni
Demi buah hati
rela kau
taruhkan nyawamu
demi buah hati
kau korbankan
waktumu
Nampak keriput
raut wajahmu
tak nempak
segelintir rasa lelah
semangat membara
dijiwamu
Hari-harimu
diwarnai
penderitaan,
kegelisahan
dihiasi luka
mengalir sungai
duka disekitarmu
tak jarang mata
air
muncul dibalik
senyummu
Sajadah usang
yang setia menemanimu
Kusyuk do’a kau
panjatkan untukku
Menghantarkanku
kedalam istana kebahagiaan
Tangisan
Permohonan
Pengarang: Adinda Ayu Khairana
Dibawah salah satu sisi langit,
Aku duduk di taman,
Malam itu disinari cahaya bulan dan lampu
taman,
Dalam hati berbisik kerinduan yang amat mendalam,
Berharap suatu keajaiban akan dating padaku,
Membawa serta alunan kebahagiaan.
Minggu
Hampa
Pengarang: Adinda Ayu Khairana
Kapan terakhir kali kita merasakan mata
yang memandangi sibuknya burung gereja,
Hinggap diantara ruas pohon muda,
Bersiul menemani di pagi hari
Tarikan nafas lega sedalam dalamnya,
Tak akan ada lagi yang seperti itu lagi
Kita bahkan tidak tau apa mereka masih atau
sudah tiada
mungkin, suasana dulu sudah berbeda dengan
suasana sekarang
burung gereja yang malang…
Langit
Pengarang: Adinda Ayu Khairana
Dari bentangan langit yang semu
Saat kemarau itu, kemarau bertadatangan
perlahan
Berhembus panjang, Menyapu lautan yang
biru
Mengekal tanah berbongkahan menyapu hutan ….
LILIN
Pengarang: Eko Setiyono
Kau berikan cahaya dalam gelapku
Saatku bimbang untuk melangkah.
Duduk dan bersandarku digubuk sederhana
Kubiarkan kau berdiri di sebuah meja di
ujung pagar kayu usang.
Terlelapku sebelum tersadar kau telah
hanguskan satu–satunya yang berharga,
Tempat aku berteduh
Tempat aku berlindung dari dinginnya
malam.
Sesalku tak kutaruh kau di tempatmu,
Tak kutunggu lenyapmu dari pandanganku.
Apakah ini keteledoranku?
Oh iyaa aku lupa
Aku benar-benar lupa
Akan keindahan yang selalu indah jika
diperhatikan.
PENGAMEN
Pengarang: Eko Setiyono
Mentari bercahaya
Mentari bertahta
Bertengger di angkasa
Dengan terik di ujung kepala.
Ia menari diatas ramainya jalanan kota
Sang lampu tak mau berkompromi
Sang merah pun berganti menjadi hijau
Sudah saatnya ia menepi
Dan menanti untuk menari kembali
5 INDERA
Pengarang: Eko Setiyono
Gubuk kecil diperbukitan
Diamku menatap alam
Hembusan angin hadirkan wewangian bunga
alam ini
Kemercik air yang hadir menggoda dahaga,
Penyejuk walau tawar tanpa rasa.
Kembaliku duduk
Terdengar kicau burung bernyanyi
Berharap burung mendekat temani
sendiriku.
Hinggaplah dilenganku!
Kan kubelai bulu-bulu halusmu.
Cibirku dalam hati
Da
da
Pengarang:
Nur Rizky Puspitasari
Da
Senyummu yang lepas itu selalu mampu
memaksa mataku bergerak kesudut
Harum tubuhmu selalu mampu membuat
hidungku berkoyak
Candaanmu selalu mampu memaksaku
berhenti untuk membangun bincang
Da
Senyummu terlalu banyak
Harummu terlalu memikat
Candamu terlalu menulang
Da
Tinggalah disini untuk sepersekian detik
Berikan senyum, harum dan candamu untukku, da
Pasti Kamu
Pengarang:
Nur Rizky Puspitasari
Dibawah lampu kota aku sendiri dengan
rindu yang kurasa
Ditengah jalan raya aku masih merasa kau
yang ada dalam dada
Getaran nada rindu terus kurajut sendiri
Menanti nanti doa ini teramini
Sampai semuanya tak sekedar kata dalam
hati
Semua kata cinta pasti kamu
Semua rindu yang kurasa pasti kamu
Alasan aku tersenyum juga pasti kamu
Lalu apakah kau juga begitu?
Bagai percikan air di telaga sunyi
Kau mengoyak habis tubuh ini
Hancur berkeping tak besisa lagi
Cinta namun ku benci
Terang, gelap, terang lalu gelap lagi
Datang, pergi, datang lalu pergi lagi
Hati yang belabuh sudah tak mungkin
berlayar lagi
Sudah habis daya dan upaya tuk mengayuh
Di hulu menunggu sebuah senja untuk
datang
Merindukan bulan tuk menerang
Sudah
Akhiri dan bunuh rasa ini
Sakit
Pengarang: Septian Setyo Baskoro
Diriku ini tak
berdaya
Memendam sakit
yang sama
Untuk
terulang-ulang
Sehat, kapankah
kau datang
Aku merindukanmu
sehat
Sakit, pergilah
kau
Enyah dari
diriku
Biar ku sambut
datangnya sehat
Satu
Pengarang: Septian Setyo Baskoro
Hanya kau
satu-satunya
Yang mampu
menyadarkanku
Dalam setiap
kekhilafanku
Hanya kamu
satu-satunya
Yang aku
puja-puja setiap malam
Dirimu bagaikan
malaikat yang turun
Menemani
hari-hariku
Tak peduli itu
gelap, terang, suram. Maupun cerah
Satu
Murka
Pengarang: Septian Setyo Baskoro
Ya, aku murka akan
semua yang mereka rusak
Bumi pertiwi kau
babat kau hancurkan
Tanpa
memperdulikan
Kami kaum
marjinal
Yang hanya
mengikuti tikus-tikus di negeri ini
Tidak ada yang
benar ataupun salah
Tetapi kita
dapat murka atas semua yang terjadi
Murka, murka ini
tak berbalas apapun
Jika kita tidak
bersatu
Melawan
tikus-tikus yang ada
Labirin
Pengarang: Gitananda Putri. P
Di dalam semesta kata,
Aku lenyap.
Warna
Pengarang: Gitananda Putri. P
Aku adalah warna,
Antara merah dan ungu.
Yang bukan jingga,
Bukan kuning,
Bukan hijau,
Bukan biru,
Dan bukan nila.
Warnaku,
Aku, tak tergambarkan.
Waktu
Pengarang: Gitananda Putri. P
Jika ada yang fana,
Di sana pula ada yang kekal.
Keduanya berawal.
Yang fana berakhir,
Yang kekal tak berakhir.
Tetapi,
Bisakah yang berawal
tak memiliki akhir?
Cermin
Tasbih
Pengarang: Resza Mustafa
Siapa
aku?
Dalam
butir-butir yang terputar.
Hitam.
Gelap tanpa sinar.
Siapa
aku?
Dalam
tiap untaian.
Hitam.
Sosok dari sebuah cerminan.
Siapa
aku?
Dalam
tiap lafadz.
Hitam.
Terlayak lalat.
Kau
suruh aku tertawa. Kau malah tertawa.
Kau
suruh aku diam.Kau malah diam.
Aku
ini hitam.
Kau
berkata aku putih.
Aku
ini putih.
Kau
berkata aku hitam.
Hitam,
putih, atau kuning kah?
Kau
berkata aku kuning.
Aku
ini hitam yang putih.
Aku
ini hitam putih yang kuning.
Aku
ini. Siapa?
Aku.
Hitam.
Hitam. Hitam. Hitam. Hitam dan Hitam.
(Semarang,
7 Mei 2014)
Pantaskah?
Pengarang: Resza Mustafa
Slalu
dahulu sibukku. Dari
Pada
Kau.
Slalu
dahulu senangku. Dari
Pada
Kau.
Slalu
dahulu aku. Dari
Pada
Kau.
Lalu.
Pikirkanlah!
Apakah
pantas. Kau kusebut Yang Maha Terdahulu?
Ku ulur slalu tiap waktu pertemuanku.
Dengan Kau.
Ku ulur slalu tiap urusan hubunganku.
Dengan Kau.
Ku ulur slalu tiap ucapan pujaanku.
Dengan Kau.
Lalu. Pikirkanlah!
Apakah pantas. Kau kusebut Yang Maha Mengetahui Segalanya.
Bahkan urusanku pun Kau tak tahu.
Tahukah Kau. Aku mencintaimu.
Tahukah Kau. Aku Memujamu.
Tahukah Kau. Aku takkan pernah pantas untuk bersama-Mu.
Kerena aku sadar. Aku tak sebaik harapan-Mu.
Karena aku sadar. Aku telah ingkari
janjiku.
Karena aku sadar. Aku hitam dan kelam.
Lalu pikirkanlah!
Apakah pantas. Kau kusebut. Tuhanku.
Kyai ku
berkata. Tuhan ada pada dirimu.
Kyai ku
berkata. Tuhan slalu bersamamu.
Kyai ku
berkata. Tuhan adalah Tuhanmu.
Lalu pikirkanlah!
Apakah pantas. Kau kusebut. Aku.
Karena Kau, ada pada diriku.
Dari
hambamu..
(Orang
tolol yang tak kunjung pintar, yang selalu salah tiada benar).
Khusyu’
Pengarang: Resza Mustafa
Dalam khusyu’.
Terbahak-bahak
tertawa.
Dalam khusyu’.
Berteriak-teriak
gaduhkan suasana.
Tak habis.
Hatiku tiada
setetes tangis.
Tak habis.
Aku lecehkan
dengan meringis.
Nasi tanak yang
belum matang.
Kucing yang
seenakanya berjalan lewat depan melintang.
Mainan-mainan
kecil yang melompat terbang.
Urusan yang
terurai banyak di depan pintu gerbang.
Aku bodoh! Kau
batas.
Dalam khusyu’
terucapkan.
Aku. Tak pantas.
Dalam khusyu’
terikrarkan.
Aku. Buta.
Dalam terang.
Aku. Tuli.
Dalam keramaian.
Aku. Bisu.
Dalam obrolan
kebenaran.
Aku. Khusyu’.
Dalam. Kehancuran.
Semarang, 13 Mei
2014
Pembunuh
Oleh: Purnomo Putro
Mild
Light
Kretek
Filter
Ketika perlahan
membunuh
Seketika itu
tubuh yang gelisah perlahan menjadi tenang
Asap yang keluar
Kenikmatan yang
tak terkalahkan
Tembakau yang
terbakar
Suara yang khas
disetiap hisapan
Rasa yang khas
disetiap jenisnya
Berbagai gaya
saat mengeluarkan
Marlboro
Dji sam soe
L.A
Gudang Garam
Kapan aku
menganggap semua itu teman? Apakah hari ini, detik ini, saat ini juga?
Lalu kapan aku
menganggap itu sebagai musuh yang membunuh? Besok, lusa, setahun kemudian?
aku tidak tahu,
tetapi sampai saat ini itu sebuah teman yang jahat sekaligus baik bagi diriku
pribadi
aku membunuhnya,
aku membakarnya, aku mematikannnya, aku menikamtinya
sebaliknya dia juga menikmatiku
PSK
Oleh: Purnomo Putro
Tubuh bohay,
paras lumayan menjadi modal utama
perempuan malam itu
Berdiri,
duduk, merayu para lelaki hidung belang
Lelaki yang haus
akan belain wanita
200 ribu
harganya sekali ronde
Tetek
kemana-mana
Belahan dada
yang cukup menggoda
Rayuan halus
dengan tutur kata lembut menjadi modal yang harus dilakukan
Mari mas sini
sama aku, begitu kata yang diucapkan ketika seorang pria lewat di depan matanya
Pakaian mini
yang di kenakan membuat lelaki hidung belang merangsang seketika melihatnya
Mampus kau
tergoda olehnya
Sempurna
Oleh: Purnomo Putro
Kulit putihnya
membuatku sulit untuk melepas pandangan ke dia
Ukuran tubuh
yang pas sangat membuatku untuk selalu melihatnya
Mata indahnya
yang selalu melirikku ketika aku sengaja memperhatikannya
Rambut halus
lurus yang dimilikinya seakan-akan tak dimiliki orang lain
Hidungya,
kakinya, tanganya, parasnya semuanya yang berkaitan dengannya aku nilai
sempurna
Oh, aku tak
kuasa kalau hanya melihatnya
Kalau saja aku
lebih cepat mengenalnya mungkin saat ini juga aku bisa jalan dengannya
Tapi sayang,
lelaki itu lebih beruntung dibandingkan aku.
Tikus
Berdasi
Pengarang: Yudha
Kurniawan
Ketika rakyat sedang meronta ronta
Ditengah paceklik kesejahteraan yang
melanda bangsa
Sang tikus berdasi hanya duduk nyaman
Menikmati sekarung uang yang bukan
haknya
Jabatan nan kuasa telah disalah
gunakannya
Menjadikan si tikus berdasi jumawa tak
kenal puas
Kau dipilih dari rakyat
Dan dipercaya oleh rakyat
Namun kau tak punya muka
Kau hanya memberi harapan palsu saja
Imbalanmu dari negara sudah lebih dari
cukup
Namun kau tetap haus dahaga akan
kepuasan materi semata
Kau curi materi dari negara ini
Yang membuat bangsa ini semakin pilu
Jelas caramu salah bung!
Kau menjelma menjadi tikus berdasi
Yang sangat amat merugikan bangsa ini
Sungguh kau tak punya hati untuk rakyat!
Saat kau jalankan aksimu, kau begitu
semangat
Namun ketika aksimu terkuak? Kau
pura-pura jatuh sekarat
Sungguh amat sangat memalukan
perbuatanmu
Hukuman juga tak membuatmu jera
Membuat spesies tikus berdasi tetap
berkembang biak juga
Apa yang salah dari bangsa ini?
Mengapa masih saja terlahir tokoh
penghancur bangsa ini
Mari bersatu bangsaku, lawan dan basmi
hama tikus berdasi ini!
Agar bangsa ini menjadi sejahtera abadi!
Merdeka!!
Dosa
Pengarang: Yudha
Kurniawan
Hidup hina berlumur dosa
Banyak kelakuan negatif yang telah
terlaksana
Khilaf pun menjadi alasan klasik yang
sudah biasa
Mencoba memohon ampun kepada sang
pencipta
Tapi ada daya, kelakuan hina dan bejat
masih membudidaya
Hanya bisa meronta dalam hati dengan
balutan dosa
Ratapan sesal yang dingin selalu
menghantui
Gelap gulita hati akan setia menyelimuti
Neraka pun akan menyambutku dengan tawa
jika ku mati
Balerina
Bulan
Pengarang: Yudha
Kurniawan
Maju mundur langkah kakimu yang anggun
Tubuhmu menghasilkan gestur indah
Lemah gemulai nan berenergi melengkapi
dirimu
Putaran tubuhmu perlahan seperti
kehidupan
Lentur reflek tubuhmu begitu penuh
komposisi
Keseimbangan dan hentak kakimu
mengisyaratkan perjuangan
Alunan instrumental membawamu seperti
terbang
Menjejak kaki penuh rasa percaya diri
Setiap gestur penuh makna tersembunyi
Wajahmu tersenyum menikmati setiap
gerakmu
Hatimu teguh mengatur setiap posisimu
Terkadang merendah dan meninggi
mengikuti alunan
Kau seperti balerina bulan
Begitu cantik dan bercahaya kau disana
Menari indah dalam balutan cahaya bulan
Biarkan aku bicara
(2015)
Oleh: Efita Nur
Khoiriyah
Malam ini ku termenung sejenak,
Jenuh mungkin sudah biasa
Diam menjadi pelampiasan
asa
Airmata kini tak mampu
sembunyikan semuanya
Putus asa lah yang menampar jiwa
Lepas semua kenangan yang ada karena cinta tak pernah ada
Kau mau bilang apa?
Bukankah semua sudah aku lakukan?
Masih kurangkah?
Kesunyian ini merenggut separuh nyawaku
Meleburkan darah nan tulangku
Kini roboh seluruh urat nadiku
Apa kau tahu itu?
Kau hanya sibuk dengan
duniamu
Tak pernah pedulikan
aku
Tak pernah sedikit
terlintas kasihmu, perhatianmu untukku..
Dimana saja dirimu?
Heehh.. Mungkin dirimu
bisa bersikap seperti itu
Tapi apa kau
memikirkan perasaanku?
Sudahlah, semua telah
kita lewati dari tumbuhnya mentari hingga tenggelamnya senja
Bersama kejora malam
ini aku bercerita
Hingga sekarang,
bahkan kau tetap tak mengenaliku
Siapa aku?
Bagaimana diriku?
Kau tak tahu..
Harusnya kau tahu,
bagaimanakah diriku hingga sekarang di sini
Kau tak pernah bisa
merasakannya
Mungkin memang
perasaan itu tidak ada, hanya kepura-puraan belaka
Begitukah?
Bersama malam (2014)
Oleh: Efita Nur
Khoiriyah
Dikeheningan malam yang kian melarut merebak
memudar
Dingin yang semakin menusuk tulang-tulang
kecil ini
Dalam kegelapan diri merenung menembus
sanubari
Diri ini telah mati karena kasih yang telah
lari dan tak mungkin kembali
Yang mungkin tak mampu lagi menghempas
sayap-sayap asmara
Wahai dewa malam dalam kegelapan
Dengar ratapan hati yang merujam tak bermuara
Kasih putih yang berbalut kehitaman bergulai
serbuk debu
Kata manis yang pernah terungkapkan kini lalai
merusak jiwa
Tinggal kenangan dan air mata yang menggelora
Rindu... Rindu itu datang ketika petang
menghampiri
Diri ini merindu kasih yang dulu menyingsing
dalam hati
Merindu kata manis belai kisah kasih...
Masih adakah madu kasih dalam jiwa yang
teraniaya
Dalam badai cinta yang kian membara
Sampai kini rasa itu terus berdiam bagai
parasit dalam hati
Kau taburkan benih kehalusan kasihmu
Kau manjakan dengan kata manis dari bibirmu
Kau pula merajut kasih merasuk kalbu bagai
dewa asmara dalam jiwa
Dan kau jadikan diri ini sebongkah mutiara
berbalutkan permata
Dan kini dimana diri manismu itu
Semua bagai malam tanpa bintang dan rembulan
Rona wajah tak lagi tampak menghiasi duka hati
Hanya mampu melepas ragamu
Berserakkan serpihan luka menusuk jiwa
Tak kusadari semua berakhir seperti ini
Janji itu kau hancurkan dengan dusta cintamu
Cinta bagimu hanyalah permainan kata
Yang mungkin tak pernah kau rasakan sucinya
kasih cinta itu
Rindu, luka dan perih bersinambung dalam hati
Terjaga di sini (2015)
Oleh: Efita Nur
Khoiriyah
Terjaga...
Sepi meranah dalam jiwa yang terhempas sunyi
Merajut di sini
Di bawah petang mengitari
Terjaga di sini
Termasyhur puji nan syukri tengadah dalam
kelembutan batini
Jauh tertuju di sana
Sebagian nyawaku melayang memudar dari raga
Kasih nan sayang yang tak pernah pudar oleh
terik mentari dan guyuran airmata langit
Tak pernah luntur oleh noda-noda khilaf
Tercurah tika diriku masih dalam rahimmu
Di tiap malammu
Hembus nafasmu
Bahkan urat-urat nadimu
Kasihmu terjaga
Desir darahmu untukku..
Kini ragamu jauh dariku
Lenyap dalam hening dunia nyata
Meringkuk tubuhku tanpa selimut
Tatapan kosong menembus masa lalu
Teringat kala kau di sampingku
Cium kecup pipi keningmu masih basah di sini
Bagai tanda kasihmu yang terakhir sebelum
petang menjemputmu
Roda waktu yang tak mampu ku putar kembali
Merapuhkan jiwa yang merindumu
Masih terjaga di sini...
“Penari” ku
Oleh: M. Danang Ikhtiar
Sebenarnya,
siapakah kamu?
Menari-nari
sepanjang waktu,
Dalam dinginnya
ruang hatiku
Apa kau tak
lelah?
Pernah ku
dapati kau jatuh
Aku mendekat
lalu meraihmu
“Aku tak apa”
“Di sini saja,
jaga aku yang menari padamu”
Katamu lalu
tersenyum padaku
Dalam Dekapan
Tuhan
Oleh: M. Danang Ikhtiar
Ini waktu telah
ku habiskan
Pada malam
setelah ku bersujud
Dengan sejuk
dari air yang Kau curahkan
Rasa tubuh
setelahnya kaku
Alamku, alammu
juga
Oleh: M. Danang Ikhtiar
Kau tahu terik menyengatmu
Tetap saja kau tentang
Perih pada lukamu jadi panas
Gemeretak gigimu beradu,
Kau kesakitan tapi kau tahan
Kaki kurusmu mengarah ke sana
Ke bangunan yang dibatasi tembok
besar itu
Sebuah cermin keadilan yang
semena-mena
Pada rakyat
Ya, pada ku, kau juga
Lalu dengan tenang, kau dan
teman-temanmu sampaikan
Maksud hati kalian
“jangan hancurkan alam kami”
“ini alammu juga”
Dan mereka diam
Lalu tertawa sinis
KHIANAT
Pengarang: Rosyida Qonita
Penat aku
dengan cengkrama
yang kian basi
Sembari menyusun
bulir manik-manik
Tak kunjung usai
– baru kusadari
rantai ini tak
pernah punya ujung
Kalian tertawa
melihatku lari
Mengejar dan
dikejar
Meraih dan
diburu
Sudahlah, izinkan
aku berhenti menguntai
Sesuatu yang tak
akan kukalungkan ke leher sendiri
Menyakitkan
Khianat kalian
basi dan memuakkan
Aku ingin
berbalik
Kembali
bercengkrama
dan meminta
saran pada Tuhan
MANUSIA
BUMI
Pengarang: Rosyida Qonita
Aku berada di sebuah tempat yang sangat
asing.
Diutus untuk meneliti banyak hal tentang
tempatku berada kini.
Orang-orang menyebutnya
“Bumi”.
Bumi.
Aku pernah sekali ke sini, seratus tahun
sebelumnya.
Apakah seratus tahun bagi bumi adalah
usia yang sangat tua?
Mengapa ada begitu banyak yang harus berubah?
Manusia berbicara dengan besi di
telinga.
Orang-orang yang menjelma patung di
depan layar.
Sekarang, banyak yang percaya diri
bahwa wajah mereka begitu cantik dan
tampan
–seorang manusia yang kujumpai di
gerbong kereta,
melukis wajahnya sendiri di kotak besi
dengan sekali tekan tombol.
Orang-orang mengangkat kotak yang sama
dengan sebilah tongkat;
terangkat tinggi, dan entah mengapa
mereka merasa perlu bergaya dengan
kening berkerut
dan bibir mengerucut.
Klik!
Lagi-lagi,
kotak besi itu
seperti mampu melukis wajah dengan
teramat cepat.
Aku tersenyum. Kembali ke langit, ke
tempat rumahku berada.
Apa yang bisa kuceritakan?
Bahwa para manusia di bumi seolah autis
ketika
memegang kotak besi itu?
Bahwa seolah-olah mereka terhipnotis
dengan layar-layar itu?
Hahaha...
bahkan anakku yang bayi pun tertawa
karenanya.
SEPIRING
SAJIAN PENUTUP
Pengarang: Rosyida Qonita
Kita dipersatukan dalam sepiring sajian
penutup
Aku adalah potongan strawberry segar
yang tersenyum pada kamu, si krim kocok
lembut
Tempat dimana kita berdiam bagai singgasana
Orang akan tertawa senang melihat kita
bersanding
Cocok sekali, bukan?
Puding setengah bulat dengan warna
pelangi
Di bawahnya coklat manis dituang
melingkar-lingkar
Aih… terasa benar kita di atas segalanya
Lalu, seorang gadis menyendok puding dan
menyuapkan
ke dalam mulutnya yang mungil
Bersama krim kocok
Bersama coklat yang dituang
melingkar-lingkar
dan menyisihkan strawberry
Tak tersentuh
Lampu Taman
Aku terhayut
dalam pikirmu
Duduk terdiam
melihat sekitar
Melihatmu,
memukau
Berdecak
genggaman dalam ingatan kabur
Lihatlah! Lampu
taman itu indah
Menerangi sekitar dengan cahaya
Seperti engkau,
yang menerangi jiwa ini
Engkau
Aku bukan tuts
piano, yang indah dimainkan oleh siapa saja
Tapi, hanya satu
saja yang dapat aku terima
Aku bisa lebih
indah dari padanya
Indah apabia
engkau terhayut dalam pikiranku
Indah apabila
engkau terhanyut dalam dekapanku
Terhanyut
seperti engkau memainkan tuts itu
Kenangan
Diseberang sana
dia mengenang
Jutaan air mata
membasahi wajah
Mengenang kelam
dari masa lalu
Ah! Masa lalu!
Masa lalu! Masa lalu!
Kapan engkau
pergi!
Ya pergi dan
menghilang dalam ingatan ini
Pengarang : Dewi Anggita
KOSONG
Senyum ini tabu
Senyum ini kaku
Sejak perpisahan itu
Hampa sekali hatiku
Sempat,,daku berfikir tak bisa hidup
tanpanya
Tapi nyatanya..aku lupa,
Ya, lupa akan kesakitan itu
Semua kenangan burukku dg dia lelaki tak
tahu malu
Tak tertinggal sedikitpun dalam benakku
Kini,, hati ini ksong
Bagai ruang tak bernyawa
Entah sampai kapan?
Mungkin nanti
Ya, nanti saat pangeran dambaan datang
untuk mengisi ruang ini
Untuk membuat senyumku indah berseri
kembali
KAU
GILA
Kau fikir hatiku batu?
Yang kuat walaupun di terjang tsunami
Jika demikian,,
Sadarkah kau?
Batupun akan rapuh, akan hancur jika berulang
diterjang badai
Kau fikir aku ini apah?
Datang dan kembali seenaknya
Tak punya moral !!!
Membuatku ingin lari..
Ya, lari ke pantai, atau mungkin belok ke
hutan !
Malam terang ,,,
Langit bersih tak tersaput awan bintang
Tumpah mengukir angkasa
Membentuk formasi
Angina malam, membelai rambut
Menelisik, bernyanyi menelisik bernyanyi
Disela sela kuping,
Gema takbir memenuhi jalanan
Kenangan melingkupi kota kami
Beduk digebug bertalu-talu
Dalam irama rupa-rupa kasidahan
Menyerupai orkes melayu, dangdut, sedikit
nge-rock
Pengarang : Nur Baeti Amalia
Sepotong Senja yang Dicuri Pacarku
Untuk
SGA
Sejak kutitipkan jiwa padanya
aku tak lagi bisa menemui senja yang
kupuja.
Dan pagi menjadi fenomena terhina di
dunia.
Matahari, sang pendusta, merusak tatanan
semesta
Dengan menghadirkan cahaya.
Sebab siang adalah semu, kata pacarku,
sambil membawa lari senjaku.
Celanaku
Dibakar Ibu
Untuk
Jokpin
Ibu selalu bilang sulit untuk mencari
uang.
Jadi sulit untuk membeli makan.
Jadi sulit membikin perut kenyang.
Jadi sulit kebelet buang air besar.
Katanya itulah kenapa
Dapur orang Jawa luas,
dan kamar mandinya kecil,
bahkan kadang tak ada.
Suatu hari aku menjual ijazah SD-ku ke
orang,
Uangnya kubuat beli beras. Dan celana,
diam-diam.
Saat kutunjukkan padanya, ia justru
marah-marah.
Aku ditamparnya, celanaku dibakarnya,
tapi berasku tetap dimasaknya.
Dan aku menangis memakannya, tanpa pakai
celana.
Doa
Jahatku
Untuk
CA
Tuhanku,
dalam kamarku, aku termangu:
kapan Kamu beri pacar buatku?
Aku membaca buku, katanya di mushala
mana saja
aku bisa menemukan-Mu, dan menyampaikan
niatku.
Yang kutemukan di sana justru
senja dan celana yang berdebu.
Tuhanku, di mana Kamu?
Di mana pacarku?
Pengarang : Irman Hidayat
Serigala di
Bilik Singa
Ku
daki malam ini segelas demi segelas.
Ditenggelamkan
debur ombak cahaya bulan.
Dengan
asa yang masih ku kepal di tangan.
Malam
ini harus terbayar tuntas.
Berarmadakan kawanan bintang.
Jelas tekadku sudah lantang.
Jelas bulan hanya milik malam
Jelas saat itu siang telah benam.
Kau
tau?
Menari
diantara kerumunan singa luka
Tak
lantas membuatku enggan tertawa.
Kudapati
seraut muka penuh canda,
Penuh
tawa, tampak terjejali bahagia.
Dari
balik jendela,
Jendela
kamar pengantinmu, Adinda.
Sarapan
Pada
suatu pagi.
Mentari
menghidangkan semangkuk pagi
Kicau
burung dan udara sejuk
Lengkap
dengan suwiran embun di sana dan sini.
Namun
ada juga yang mengharap
Bubur
mendung dengan sedikit kuah gerimis
Bukan
sebagai sarapan,
Melainkan
hidangan penutup.
Mereka
yang mengharap
Bubur
mendung dengan sedikit kuah gerimis
Mereka
adalah yang sudah sarapan
Sarapan
dengan hidangan pembuka penghias ranjang.
Bagaimana
dengan sarapanku?
Masih
menunggu recehan
Hingga mampu pergi menuju kedai yang ku mau.
Pura-pura Pura-pura
Pura-pura Pura-pura
Aku
hanya berpura-pura mencintainya.
Berpura-pura
mengenalnya.
Berpura-pura
mencanda.
Berpura-pura
bahagia di dekatnya.
Berpura-pura
bahagia bersamanya
Itu
semua agar dia bahagia.
Sering
pula aku pura-pura bertanya hal biasa.
Bukan
apa-apa hanya ingin mencairkan suasana.
Bukan
apa-apa hanya ingin melihatnya tertawa.
Aku
tau Ia sedang dilanda cinta.
Hingga
Ia tenggelam dibuatnya.
Hingga
ia tak lagi mengenal logika.
Sering
pula aku pura-pura bertanya
Dua
ditambah dua.
Padahal
aku tau hasilnya lima.
Pengarang : Agus Wibowo
CINTA
Cinta
satu kata mengandung berjuta makna
Cinta
bukan secarik kertas penuh akan kata
Cinta
bisa membuat kita menangis dab tertawa
Karena
cinta hidup berwarna
LONCENG KERINDUAN
Lonceng
ini kini tlah berbunyi
Apa
lonceng itu dapat menjawabnya
Aku
rindu kamu, apa kamu begitu
Ntah
lah, yang pasti rinduku ini masih belum terbalaskan
Jika
kelak kita bertemu dan sebelum aku pergi
Izin
kan aku mendengarkan bunyi lonceng itu
Agar
ada sedikit senyum ketika aku pergi
BINTANG HARAPAN
Ketika
kaki melangkah berpijakan duri
Aku
mulai memandang kedepan dan terus mencari
Saat aku tersadar
Aku
melihat sebuah bintang yang bersinar terang
ingin
hati untuk menggapainya
Namun
kaki ini terlalu sakit untuk melangkah
Angin
yang berhembus kencang
Membuatku
menoleh ke belakang
Seketika
aku mulai melihat secerca harapan
Lihatlah
kelak lihatlah nanti
Aku
akan kembali dengan membawa bintang yang akan menjadi sinar kebahagiaan
Pengarang :
Rihada Nandar
Komentar