![]() |
Pembacaan kitab Al-barjanji atau Burdah dalam tradisi Mauludan di Dukuh Karangjati. Foto: Zahid Arofat |
Tak sekadar membaca kitab Al-barjanji, Ratib, atau Burdah, tradisi Mauludan di Dukuh Karangjati, Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati, juga diikuti serangkaian prosesi yang telah turun-temurun hingga kini.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, khususnya masyarakat yang beragama islam dan berfaham Ahlussunnah Wal Jamaah (ASWAJA). Ada yang membaca riwayatnya (Albarjanji, burdah, dan sebagainya), ada yang mengadakan pengajian akbar, ada rebut gulungan seperti di Solo dan masih banyak lagi.
Di Pati, tepatnya di Dukuh Karangjati, Desa Jatisari, Kecamatan Jakenan juga tidak pernah ketinggalan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW karena semua masyarakatnya beragama islam, meski ada satu-dua orang yang bukan berpaham ASWAJA (biasanya bukan penduduk asli).
Masyarakat di sana mempunyai cara sendiri, yang mungkin juga banyak dilakukan di daerah lain. Tidak semeriah pengajian akbar pada umumnya, dan tidak semeriah acara rebutan gunungan di Solo. Namun ada banyak yang menarik untuk didalami dan dikaji lebih lanjut dari acara peringatan yang dilakukan oleh masyarakat Dukuh Karangjati yang bisa dibilang sangat sederhana.
Landasan Teori
Pengertian kebudayaan menurut Koentjaraningrat dalam bukunya "Pengantar Ilmu Antropologi", istilah "kebudayaan" berasal dari kata sansekerta "budhayah", yaitu bentuk jamak dari kata budhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat diberi pengertian sebagai hal hal yang bersangkutan dengan akal.
Koentjaraningrat juga menjelaskan bahwa kata "budaya" dapat juga merupakan perkembangan lebih lanjut dari kata majemuk "budi-daya" yang berarti daya dari budi. Apabila kita berbicara tentang kebudayaan maka kita akan langsung berhadapan dengan makna dan arti tentang budaya itu sendiri, seiring dengan berjalannya waktu banyak para ilmuwan yang sudah memfokuskan kajiannya untuk mempelajari fenomena kebudayaan yang ada di masyarakat.
Geertz dalam bukunya “Mojokuto; Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa”, mengatakan budaya adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya, suatu pola makna yang ditransmisikan secara historis, diwujudkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana dimana orang-orang mengkomunikasikan, mengabdikan, dan mengembangkan pengetahuan, karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik maka haruslah dibaca, diterjemahkan dan diinterpretasikan.
Sementara Rustam E Tamburaka (2002: 54-55) menyebut, dalam perkembangannya aliran Syclus (siklus) muncul, memaparkan tiga aliran atau konsepsi pengkajian sejarah yang berpengaruh dalam ilmu sejarah. Pertama, memandang bahwa kejadian sejarah (peristiwa) sebagai ulangan (syclis) dari kejadian terdahulu. Perulangan terjadi secara mekanis, merupakan lingkaran ulang. Percerminan dari pandangan pada ucapan (bahasa Prancis Histoire seprete). Menurut aliran ini sejarah tidak mempunyai tujuan dan tidak ada perkembangan. Manusia dalam sejarah tinggal menunggu perulangan kejadian saja.
Kedua, aliran religius (ketuhanan). aliran ini menafsirkan bahwa segala kejadian dalam sejarah semata-mata karena kehendak Tuhan. Manusia hanyalah merupakan pemegang peranan dari kehendak Tuhan.
Terakhir, aliran Evolusi yaitu aliran yang memandang seluruh kejadian dalam panggung sejarah manusia ada suatu garis yang menaik dan meningkat kearah kemajuan dan kesempurnaan.
Menurut Max Weber dalam Berger (2004), tidakan sosial atau aksi sosial (sosial action) tidak bisa dipisahkan dari proses berpikir rasional, dan tujuan yang akan dicapai oleh pelaku. Tindakan sosial tersebut dapat dipisahkan menjadi empat macam tindakan menurut motifnya, yaitu tindakan untuk mencapai suatu tujuan terentu, tindakan berdasar atas adanya satu nilai tertentu, tindakan emosional, dan tindakan yang didasarkan pada adat kebiasaan atau tradisi.
PEMBAHASAN
Sejarah Tradisi Mauludan di Dukuh Karangjati
Adanya pembacaan kital Al-barjanji di Indonesia tidak terlepas dari adanya kitab al-Barjanji di Indonesia. Kitab itu masuk indonesia sekitar lima ratusan tahun yang lalu yang dibawa oleh orang-orang Timur Tengah yang menjadi kebiasaan di sana. Kebiasaan itu akhirnya diterapkan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Sementara tradisi Mauludan di Dukuh Karangjati sendiri tidak ada yang mengetahui kapan sejarahnya bermulanya. Tradisi itu sudah ada dari nenek moyang dan diwariskan secara turun-temurun. Meski tidak jelas mana yang lebih dulu antara Mauludan dan dan Kondangan (buwak takir). Apakah kepercayaan Jawa yang dimasuki oleh budaya berjanjen atau berjanjen yang dimasuki unsur kepercayaan Jawa.
Dalam kepercayaan orang Jawa, pada hari Rabu terakhir bulan Safar sampai malam 12 Maulud (tidak ada hari rabu lagi pada bulan itu) ada seribu bala’ yang turun. Oleh karena itu, pada interval waktu tersebut tidak masyarakat yang mempunyai suatu hajat sampai setelah buwak takir malam 12 Maulud.
Pelaksanaan Tradisi Mauludan di Dukuh Karangjati
Tradisi Mauludan di Dukuh Karangjati dilaksanakan pada malam satu Maulud (Robi’ul Awal) setelah sholat maghrib. Acara diawali dengan bacaan hadroh (mengirimkan Al-fatihah kepada Rasulullah, para ulama’ dan sebagainya, juga kepada ahli kubur di Dukuh Karangjati serta cikal bakal dukuh Karangjati).
Setelah itu dilanjut dengan berjanjen atau pembacaan kitab Al-barjanji, Burdah, Ratib, atau sejenisnya. Biasanya (sangat sering) akan ada orang yang bersedekah dengan memberi jajanan ringan seperti kerupuk dan sebagainya, memberi buah-buahan untuk dimakan bersama seusai berjanjen. Hal tersebut berlangsung selama dua belas malam.
Pada malam ke dua belas Maulud (malam 12 Robi’ul Awal) seusai sholat isya’ diadakan kondangan, membuang takir, dan makan bersama. Yang dimaksud kondangan di sana adalah seperti hajatan, selametan, bancakan, dan sebagainya yang dipimpin oleh sesepuh atau ketua adat (berbeda dengan di tempat lain yang sebagian besar menyebut kondangan adalah datang ke acara pernikahan untuk nyumbang). Sementara takir adalah daun yang dibuat seperti perahu dari daun (biasanya dari daun pisang. Ada juga yang menggunakan daun jati).
![]() |
Prosesi kondangan (hajatan bersama) pada malam ke-12 Maulud dalam tradisi Mauludan di Dukuh Karangjati. Fotp: Zahid Arofat |
![]() |
Asahan (makanan lengkap lauk-pauk) yang di atasnya terdapat takir. Foto: Zahid Arofat |
![]() |
Bentuk takir dari daun pisang yang nantinya harus dibuang. Foto: Zahid Arofat |
![]() |
Asahan (makanan lengkap lauk-pauk) yang di atasnya terdapat takir. Foto: Zahid Arofat |
![]() |
Wajid (uang) dari warga sebagai khas. Foto: Zahid Arofat |
![]() |
Tokoh masyarakat ssekaligus tokoh agama (kiri dan kanan) di Dukuh Karangjati. Foto: Zahid Arofat |
Takir tersebut sebelumnya dipakai sebagai tempat sayuran dan lauk-pauk. Setelah kondangan selesai sayuran dan lauk-pauk itu dikeluarkan dari dalam takir. Takir tersebut kemudian dibuang. Dalam membuang takir ini tidak ada tempat, cara, atau syarat khusus. Tapi hanya seperti membuang sampah biasa.
Pelaksanaan Mauludan tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Meskipun secara proses semua (kelompok laki-laki dan perempuan) sama, namun ada beberapa hal yang berbeda.
a. Kelompok laki-laki
Dalam mengadakan berjanjen mauludan, kelompok laki-laki bertempat di musala dan masjid. Tidak ada ketentuan usia dalam berjanjen Mauludan ini, semua umur boleh mengikutinya.
Untuk jajanan, siapa saja yang yang ingin bersedekah akan membawakannya secara bergantian. Acara tersebut berlangsung selama dua belas hari.
b. Kelompok perempuan
Sebelum malam satu Maulud ibu-ibu akan menentukan di rumah siapa berjanjen pertama akan dilaksanakan. Di rumah pertama biasanya dipilih berdasar orang yang dipandang memiliki ilmu agama yang baik. Di rumah tersebut juga yang nantinya dilaksanakan kondangan.
Ketika sudah ditentukan maka malam itu setelah berjanjen akan diadakan pengacakan di rumah siapa untuk seterusnya. Sehingga acara berjanjen seterusnya di rumah orang sesuai urutan yang telah diacak sebelumnya secara bergantian. Ketika berjanjen di rumah si A misalnya, maka tuan rumahlah yang bersedekah dengan memberi jajanan untuk dibagikan kepada orang-orang yang datang berjanjen. Bahkan ketika ada yang tidak ikut (namun biasanya ikut atau terdaftar dalam kelompok tersebut saat awal pengacakan) juga diberi jajan tersebut.
Dalam kelompok perempuan ini, tidak ada batasan umur. Juga tidak ada batasan misalnya, satu kepala keluarga terdapat lebih dari satu perempuan untuk ikut semuanya.
Waktu pelaksanaannya, dalam kelompok perempuan lebih lama dibandingkan kelompok laki-laki yang hanya selama dua belas hari. Waktunya sesuai berapa rumah yang dijadikan tempat. Jika tiga puluh, maka selama itu juga berlangsungnya berjanjen (tidak termasuk hari pertama). Namun acara tersebut biasanya dilaksanakan per RT, terkadang dua RT jadi satu. Dalam satu RT rata-rata terdapat 15-18 kepala keluarga, dan dalam satu Dukuh Karangjati hanya ada empat RT saja.
Perlengkapan dan Persiapan Pelaksanaan Tradisi Mauludan di Dukuh Karangjati
Dalam pelaksanaan tradisisi Mauludan ini tidak ada persiapan yang dilakukan secara khusus. Masyarakat telah mengetahui apa yang harus mereka lakukan ketika menjelang malam tanggal 12 Robi’ul Awwal, yaitu membuat berkat (dengan lauk pauk) dalam setiap rumah yang selanjutnya akan dibawa ke mushola untuk acara kondangan. Dalam berkat itu yang tidak boleh dilupakan adalah takir. Yaitu daun yang dibuat seperti bentuk perahu. Di dalamnya diisi sayuran dan lauk-pauk.
Selain menyiapkan berkat, masyarakat atau yang mengikuti acara puncak (kondangan) juga akan membawa wajid. Wajid adalah uang yang disedekahkan untuk kas musala atau masjid. Namun, hanya ketika ada acara kondangan saja (ketika orang memasukkan uang ke dalam kotak amal pada waktu mau salat misalkan, tidak dikatakan wajid).
![]() |
Prosesi kondangan (hajatan bersama) pada malam ke-12 Maulud dalam tradisi Mauludan di Dukuh Karangjati. Fotp: Zahid Arofat |
Pengaruh Sosial Tradisi Mauludan Terhadap Masyarakat Sekitar
Adapun tradisi Mauludan yang dilaksanakan oleh masyarakat Dukuh Karangjati memiliki pengaruh sosial, di antaranya:
a. Terjaganya kekeluargaan dan kebersamaan antar anggota masyarakat.
Dalam melaksanakan tradisi Mauludan, dari pembacaan al- Barjanji, sampai dengan acara buwak takir (kondangan), selalu terdapat unsur kekeluargaan. Saat berjanjen mereka saling bergantian membaca. Saat kondangan jumlah berkat selalu lebih sedikit dibanding dengan jumlah masyarakat yang datang, sehingga satu baskom biasa dimakan bersama-sama.
b. Bangga terhadap panutan mereka yaitu Nabi Muhammaad SAW dengan cara berjanjen dengan harap bisa mendapatkan syafaatnya.
c. Tidak ada masyarakat memiliki hajat seperti melangsungkan pernikahan pada interval waktu hari rabu terakhir pada Bulan Safar sampai setelah buwak takir, karena pada waktu tersebut mereka meyakini bahwa seribu bala’ diturunkan.
d. Ingat akan rizki yang telah Allah berikan dan mensyukurinya dengan cara bershodaqoh membeli makanan ringan untuk di makan bersama-sama ataupun dibagikan kepada orang yang ikut berjanjen.
PENUTUP
Simpulan
Tradisi Mauludan di Dukuh Karangjati merupakan suatu kebudayaan yang telah ada sejak zaman dahulu. Meski adanya tidak terlepas dari masuknya kebudayaan dari luar yaitu timur tengah, namun kebudayaan itu telah menjadi warisan nenek moyang di daerah tersebut. Karena tradisi bukanlah muncul dengan sendirinya, melainkan terlahir karena hasil dari karya, cipta dan rasa manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Tamburaka, Rustam, E. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan IPTEK. Jakarta: Rineka Cipta.
Tohir, Mudjahirin. 2013. Metodologi Penelitian Sosial Budaya. Semarang: Fasindo Press.
Penyusun: Zahid Arofat
Komentar