![]() |
Buku Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis. Foto: Asep Sopyan |
Sinopsis cerpen "Topi Helm" dalam Robohnya Surau Kami A.A. Navis
Topi Helm
Tuan O.M (Tuan Gunarso) adalah seorang opseter pada sebuah bengkel kereta. Tubuhnya pendek, namun dia sangat berwibawa karena topi helm yang dikenakannya. Hal itulah yang membuat dia dijuluki sebagai Si Topi Helm.
Kewajiban Si Topi Helm itu membuat ia juga ditakuti oleh para pekerjanya. Namun ketakutan itu malah justru dijadikan sebagai candaan atau olok-olok para pekerjanya. Ketika mereka sedang asyik mengobrol sambil bekerja, seringkali ada yang mengatakan “Ssst... Si Topi Helm”. Tentu saja para pekerja itu tunggang langgang dan pura-pura untuk bekerja dengan rajin, seolah-olah mereka tidak pernah mengobrol ketika bekerja.
Hinggaa Tuan O.M harus dipindahtugaskan ke Bandung dan memutuskan untuk memberikan Topi Helmnya kepada Pak Kari, pekerjanya pada bagian rem. Tentu Pak Kari merasa sangat senang mendapatkan Topi Helm itu, hingga dia merasa bahwa dirinya adalah Gunarso yang berwibawa.
Kesenangan Pak Kari terhadap topi helmnya itu justru membuat teman-temannya selalu mengusili dirinya dengan menyembunyikan topi helm itu ketika Pak Kari sedang Sembahyang. Namun Pak Kari tetap sabar menghadapi mereka.
Dengan memiliki topi helm itu, Pak Kari benar-benar bahwa dirinya adalah Gunarso. Dia selalu memimpikan hal itu, selalu tersenyum sendiri ketika melihat dirinya mengenakan topi helm itu pada kaca toko yang dilewatinya saat berangkat dan pulang kerja. Bahkan kecintaannya terhadap topi helm itu melebihi apa pun.
Suatu hari sebuah kereta berangkat dengan penumpang yang tidak terlalu banyak. Pak kari bekerja pada gerbong yang paling belakang. Rel yang licin membuat para pekerja rem harus selalu mengecek rem.
Ketika Pak Kari melongokkan kepala keluar untuk mengecek, topi helmnya terbawa angin dan jatuh ke dalam sungai. Namun di depan terlihat bahwa kereta melewati jembatan berpelengkung. Pak kari kemudian kembali masuk ke dalam gerbong agar dia tidak tersambar oleh jembatan berpelengkung itu.
Sesampainya pada stasiun, dan para pekerja rem tidak menemukan Pak Kari. Satu dari mereka mengatakan bahwa sebelumnya dia melihat Pak Kari sedang mengecek rem saat kereta memasuki jembatan berpelengkung. Mereka kemudian mencarinya dan berpikir bahwa Pak Kari tersambar jembatan itu.
Mereka sangat terkejut ketika melihat Pak Kari basah-kuyub dengan topi helmnya. Pak Kari menjelaskan bahwa dia melepaskan gerbongnya karena topi helmnya terbawa angin dan masuk ke dalam sungai.
Hal tersebut membuat masinis marah. Dia kemudian mengambil topi helm Pak Kari lalu melemparnya dalam tungku api. Hinggu suatu saat Pak Kari harus membalas masinis dengan melemparkan tahi arang ke muka masinis itu yang telah membakar topi helmnya.
Pembahasan
A.A. Navis adalah sastrawan besar yang telah melahirkan karya-karya monumental dalam sejarah sastra Indonesia. Pemikiran kritisnya seringkali ia tuangkan dalam karya-karyanya. Karya A.A. Navis lainnya, seperti Hujan Panas (1964), Kemarau (1967), Di Lintasan Mendung (1983), Dialektika Minangkabau (1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Bertanya Kerbau Pada Pedati (2002), dan Saraswati, Si Gadis Dalam Sunyi (2002).
Kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami ini diterbitkan oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, dan telah dicetak ulang selama enam belas kali. Cetakan terakhir yaitu pada September 2010. Hal itu menandakan Buku kumpulan cerpen tersebut merupakan buka yang banyak dicari oleh pembaca (masyarakat).
Psikologi Tokoh-Tokoh "Topi Helm" A.A. Navis dalam Robohnya Surau Kami
Dalam cerpen Topi Helm ini A.A. Navis mampu menciptakan suatu konflik yang berpengaruh sangat besar terhadap semua tokoh yang ada di dalamnya. Suatu konflik yang mampu mengangkat psikologi tokoh secara jelas. Psikologi tokoh tersebut sangat runtut menjadi satu-kesatuan alur cerita yang sangat menarik dan harmonis.
Hal itu diawali oleh terangkatnya topi helm di atas kepala Tuan O. M (Tuan Gunarso). Meski tubuhnya pendek, namun terangkatnya topi helm di atas kepalanya membuat terangkat juga wibawanya yang dijuluki sebagai Si Topi Helm.
Julukan yang melekat dengan kewibawaannya itu lah yang menyebabkan munculnya pengaruh terhadap kejiwaan tokoh lainnya. Misalnya ketika para pekerja sedang asyik mengobrol saat bekerja, ada saja seseorang dari pekerja itu yang kemudian berbisik “Ssst... Si Topi Helm,” maka para pekerja akan tunggang langgang kembali bekerja dengan tekun di bagian masing-masing.
Mereka pura-pura asyik bekerja seolah-olah mereka tidak mengobrol dan benar-benar bekerja. Padahal orang yang berbisik itu hanyalah iseng berolok-olok – padahal tidak benar-benar ada Si Topi Helm (dapat dilihat pada halaman 41-42).
A.A Navis membuat sebuah topi helm tersebut tetap menjadi pusat cerita sekaligus menjadi pengaruh terhadap tokoh lainnya meskipun tidak terlepas dari tokoh Gunarso yang lebih dulu menggunakannya. Bahkan ketika topi helm tersebut diberikan kepada Pak Kari. Wibawa Tuan Gunarso seakan melekat pada topi helm dan menurun pada Pak Kari.
Dari sinilah konflik bermunculan secara bergantian dan A. A Navis memaparkan psikologi tokoh dan perubahannya secara jelas. Perubahan itu dialami tokoh Pak Kari yang mulanya sebagai tokoh penyabar dan baik dapat berubah menjadi tokoh yang pemarah (bisa dilihat pada halaman 47).
Pak Kari juga tokoh yang pendendam. Hal itu dapat dilihat ketika Pak Kari melemparkan tahi arang ke muka masinis yang telah membakar topi helmnya. Padahal sebenarnya dia lah yang menjadi penyebabnya (dapat dilihat pada halaman 58).
Jika berbicara psikologi tokoh dalam sebuah karya sastra, maka tidak terlepas pula dengan karakter. Dengan adanya perubahan psikologi yang terjadi pada tokoh-tokoh dalam karya sastra membuat satu tokoh memiliki lebih dari satu karakter. Ironisnya jika misalkan satu tokoh memiliki dua karakter yang bertolak belakang.
Dalam cerpen Topi Helm ini A.A. Navis menciptakan tokoh yang demikian sehingga pembaca awam sulit untuk menangkap karakter pada tokoh dalam cerpen tersebut, yakni Pak Kari. Hal itu dapat dilihat seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya.
Di samping hal-hal yang telah dijelaskan di atas, jika dilihat dari segi psikologi tokoh cerita tersebut lebih banyak menuju pada hal-hal negatif, baik pada tokoh (karakter) itu sendiri maupun apa yang ditangkap oleh pembaca. Selain dari tokoh Pak Kari, ada juga tokoh yang mengalami hal serupa.
Adalah para pekerja yang selalu mengolok-olok, istri Tuan Gunarso yang selalu memuji kegagahan Pak Kari dibanding suaminya, dan tokoh masinis yang melemparkan topi helm ke dalam pembakaran. Semua itu lebih menuju pada hal-hal yang kurang pantas, sehingga tidak terlalu banyak yang dapat diambil oleh pembaca segi baiknya kecuali menariknya dari cerita itu sendiri.
Simpulan
Dengan menggunakan teori psikologi dalam karya sastra dapat diketahui karakter dan kejiwaan terhadap tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra. Menggunakan teori psikologi juga dapat mengetahui perubahan-perubahan yang dialami setiap tokoh dan penyebabnya.
Dalam cerpen Topi Helm misalnya, hampir semua tokoh mengalami perubahan kejiwaan yang disebabkan oleh sebuah topi helm. Dapat dikatakan topi helm itulah yang menjadi pusat perhatian konflik dan memengaruhi setiap tokoh yang ada dalam cerpen tersebut.
Dalam cerpen tersebut A.A. Navis mampu menciptakan cerita yang unik. Dengan mengangkat topik yang sederhana kemudian membentuk karakter maupun psikologi tokoh-tokoh yang ada di dalamnya menjadi satu alur cerita yang runtut dan menarik. Namun, secara keseluruhan tidak terlalu banyak hal positif yang terdapat pada cerpen tersebut. Kebanyakan lebih mengarah pada hal-hal yang negatif.
Penulis: Zahid Arofat
Komentar