![]() |
Ilustrasi cerpen Gamelan Pemimpi. Foto: Wikimedia Commons |
Cerpen - Tiada pohon sakura. Tiada juga daun dan bunganya yang berjatuhan memenuhi panggung. Tiada ornamen-ornamen khas pernikahan orang Jepang. Begitu pun alunan musik Jepang. Tak ada.
Panggung itu layaknya adat pernikahan orang Jawa pada umumnya. Sebuah kursi pengantin dengan ukiran klasik, dua kursi pengapit dan dua kursi untuk putri domas di kanan-kiri. Kesemuanya itu berpadu dengan gebyok yang berdiri tegak di belakangnya. Di sepanjang bagian atas gebyok itu terpancang bunga-bunga warna-warni. Di bagian depan panggung terdapat sebuah air mancur buat. Tak terlalu besar, kira-kira berdiameter satu setengah meter. Meski demikian gemericiknya menambah kesan harmoni di antara alunan gamelan yang diputar melalui sound system.
Dulu, sekitar tiga tahun lalu, dia: Lina, mengatakan kepadaku bahwa ingin menikah dengan konsep ala Jepang. Mendengarnya, sontak aku tertawa. Aku membayangkan ia berbalut kimono lalu tersenyum. Entahlah, pikiranku mencoba menyusun bayangan-bayangan itu, dan terlihat aneh.
Lina terlihat kesal mendapati responsku yang justru tertawa.
“Emang ada yang salah?” tanya Lina.
“Kan, di sini belum ada konsep pernikahan seperti itu.”
Ya, waktu itu memang belum pernah ku saksikan. Bahkan, hanya sekadar kabar pun belum pernah kudengar adanya konsep pernikahan seperti itu di daerahku. Itu adalah ide gila yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Apalagi di daerah pedesaan dengan tradisi kejawennya yang kental. Pernikahan tersebut mungkin akan dianggap aneh. Atau lebih parah lagi dianggap menyeleweng.
“Tidak usah konsep aneh-aneh, yang penting adalah aku sebagai pendampingmu di pelaminan nanti,” kataku.
Ya, waktu itu memang belum pernah ku saksikan. Bahkan, hanya sekadar kabar pun belum pernah kudengar adanya konsep pernikahan seperti itu di daerahku. Itu adalah ide gila yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Apalagi di daerah pedesaan dengan tradisi kejawennya yang kental. Pernikahan tersebut mungkin akan dianggap aneh. Atau lebih parah lagi dianggap menyeleweng.
“Tidak usah konsep aneh-aneh, yang penting adalah aku sebagai pendampingmu di pelaminan nanti,” kataku.
Mendengarnya, Lina sedekit senyum. Aku senang melihatnya. Indah, meski masih terlihat sedikit kesal di raut wajahnya.
***
Senyum itu. Lama sekali aku tak melihatnya. Tapi aku masih mampu menyusunnya sempurna diingatanku. Juga garis wajahnya, lesung pipinya, teduh matanya, dan semuanya. Aku membingkai dan menyimpannya sempurna.
“Sebentar lagi,” kataku seolah pada diriku sendiri. “Sebentar lagi aku akan melihatnya lagi.”
Kala itu siang hari di puncak musim kemarau. Angin timur menyibakkan hawa panas lalu membawanya sampai pori kulit. Untungnya siang itu adalah momen sejarah – momen indah. Jadi, aku berpikir itu bukanlah sebuah masalah.
Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. “Hampir pukul satu siang,” gumamku.
Tak ada sesiapa di atas panggung. Alunan gamelan memecah kelengangan sebelum akhirnya terbawa angin ke segala penjuru - mengabarkan kebahagiaan siang itu - dipersatukannya dua insan yang saling mencintai.
Seorang perempuan paruh baya melangkah ke arahku. Ia masih lengkap dengan kebaya. Meski dipoles rias aku tak kesulitan untuk mengenalinya. Itu ibu Lina.
Sepanjang langkah ia melempar senyum kepadaku. Aku berdiri, menyalami, dan mencium punggung telapak tangannya. Aku lalu duduk kembali, juga ibu Lina.
Suasana itu membuatku menjadi serba canggung. Aku yakin ibu Lina juga demikian. Tapi, ia lebih terlihat tenang dibandingkanku.
“Apa kabar, Nak?” tanya ibu Lina, memulai percakapan.
“Syukur, Bu. Baik kok. Kalau gak baik, mungkin saat ini saya gak di sini, hhehe…”, jawabku lalu tertawa ringan. Ibu Lina tersenyum.
“Tadi ke mana saja, kok baru datang? Acara resepsinya sudah selesai, Nak.”
“Nggak apa-apa, Bu. Yang penting datang. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” kujawab dengan alasan sedapatnya.
Sebenarnya bisa saja aku datang tepat waktu. Hanya saja entah kenapa waktu itu langkahku rasanya berat. Seluruh tubuhku rasanya enggan menuju acara sakral itu. Hingga akhirnya aku mampu melawannya. Itu pun terlambat. Resepsinya telah usai.
“Oh, ya, belum ketemu Lina ya?” tanyanya seolah pada diri sendiri. “Tadi ibu lihat dia masih membersihkan make up di wajahnya. Katanya agak susah sebab menggunakan air dingin. Maklum, semuanya sibuk dan tak sempat menyiapkan air hangat.”
“Iya, Bu. Gak apa-apa kok. Tapi, sebenarnya saya pengin lihat Lina dengan balutan rias pengantin, hhehe…”
“Nak,” katanya dengan suara agak tertahan, “ibu minta maaf.”
Ia berhenti sejenak. Aku diam, menunggu ibu Lina melanjutkan kalimatnya.
“Ibu mohon, Nak, jangan benci Ibu, almarhum suamiku, juga Lina! Kami telah melukaimu dan membuatmu kecewa,” katanya.
Mendengar kalimat itu membuat suasana menjadi serba sangat canggung. Aku bingung dan tak tahu harus berkata apa. Terlebih saat ku saksikan mata ibu Lina mulai berkaca-kaca saat mengatakan hal itu.
Siang itu susana mwnjadi terasa sangat gerah. Dan, kembali alunan gamelan yang harmonis itu mengisi jeda percakapan kami. Sementara itu, aku masih tetap bingung dan canggung.
Beberapa pramusaji yang sedang beberes melirih ke arah kami. Mereka mulai berbisik. Entah apa yang mereka bisikkan sebab yang kudengar lagi-lagi adalah alunan gamelan.
“Aku sudah berdamai, Bu. Berdamai dengan diriku, juga masa lalu. Saya akui memang dulu sakit hati, putus asa, dan tak ada gunanya saya hidup. Lina kuanggap segalanya waktu itu. Hingga akhirnya saya sadar bahwa Lina telah memilih hidupnya, memilih meninggalkanku. Saya harus menghargainya. Yang harus Ibu tau, meski akhirnya saya berdamai, bukan berarti aku berhenti mencintainya. Bukan berarti saya membencinya, membenci Ibu, dan membenci mendiang ayah Lina,” jelasku.
“Kamu harus berhenti mencintainya, Nak!” katanya, “Ada yang jauh lebih pantas untuk kaucintai yang juga mencintaimu dengan sepadan. Percayalah!”.
Kami kembali sama-sama diam. Sibuk dengan pikiran dan hati masing-masing.
“Ah, Lina lama sekali ya. Tunggu sebentar, Nak! Biar ibu panggil,” katanya, kemudian bangkit dari tempat duduk meninggalkanku dengan segala pikiran dan hatiku.
Sebelum ibu Lina benar-benar masuk meninggalkanku, sempat dia berbisik “Saya nggak memintamu untuk melupakan Lina, Nak. Saya tahu cintamu sangat besar. Namun, Nak, kamu harus tahu bahwa cinta yang besar itu bukan sekadar ambisi untuk memiliki, juga hati yang lapang untuk melepaskan.”
Tak berapa lama setelah ibu Lina masuk, Lina muncul dengan senyumnya. Jantungku berdegup kencang, menderu tak beraturan. Aku teringat kalimat guruku waktu di Semarang. Beliau pernah sesekali nyeletuk saat datang ke resepsian salah satu kawanku. Katanya “Ternyata deg-degan itu tidak hanya saat akan bertemu mantan, tetapi juga saat akan ketemu manten,” kemudian ia terkekeh-kekeh.
Begitu pun yang aku rasakan saat itu. Bedanya, yang kini kutemui adalah mantan jadi manten. Tapi jadi mantennya bersama orang lain.
“Hey!” sapa Lina.
“Hey!” jawabku.
Lina kemudian duduk di hadapanku, di tempat duduk yang sebelumnya ditempati ibunya.
Senyumnya masih sama. Kupandang setiap garis wajahnya. Tipis-tipis sisa make up masih melekat. Dan, angin membawa sisa wewangi khasnya menyambut indera penciumanku.
“Kok gak pakai kimono?” tanyaku sembari tersenyum. Dan, dia hanya membalas dengan hanya tertawa. Aku paham, bahwa dia tidak mau membahasnya.
“Kok sendirian, Kak? Mana pasanganmu?”
Aku tertawa. “Kau tau,” kataku, “pertanyaan itu adalah pertanyaan horor bagi setiap jomblo yang datang di acara pernikahan seseorang. Juga pertanyaan sejenis yaitu ‘kapan nyusul?’ Itu lebih horor daripada nonton film Danur atau film-film horor yang dibintangi Suzana,” kataku, sembari menggaruk kepala yang tak gatal.
“Masa?”
Aku tak menjawabnya, sebab kuyakin Lina juga percaya hal itu.
“Yang jelas,” kataku kemudian, “sebenarnya aku datang bersama rombongan keluargaku. Tapi gak jadi. Sebab sudah keduluan rombongan keluarga lain, hhahaha…” aku terkekeh. Lina juga tertawa dan salah tingkah.
“Kak, aku minta maaf!” katanya.
“Maaf untuk?” aku bertanya dia meminta maaf untuk apa.
“Mungkin,” lanjutnya “kita tidak ditakdirkan untuk berjodoh”.
“Takdir kamu bilang?”
“Iya. Takdir tuhan bahwa kau dan aku tidak diciptakan untuk bersama.”
Kutatap matanya seakan mencari maksud apa yang baru saja dikataannya.
“Omong kosong!” jawabku kemudian. “Bukankah Tuhan telah menjelaskan melalui kalam suci-Nya bahwa Dia tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali mereka sendiri yang mengubahnya? Dan, kamu tahu, Lin, aku telah berusaha untuk itu. Berusaha agar kamu menjadi milikku. Tapi, tidak denganmu. Kamu tak berusaha mewujudkannya. Kamu justeru memilih orang lain. Lalu di tangan siapa sebenarnya jodoh itu?”
“Kak, maaf. Jodoh, rezeki, dan mati itu di tangan tuhan. Aku percaya itu. Dan, sekarang aku tahu bahwa jodohku adalah suamiku, bukan kamu.”
Lina diam. Aku pun. Kulihat matanya mulai sembab.
“Apakah ketika sepasang manusia menikah, apakah ketika telah ijab-qabul terlaksana maka pasangan itu dipastikan berjodoh? Nyatanya banyak diluar sana perceraian terjadi begitu mudahnya.”
“Intinya adalah saling menjaga, saling percaya, dan saling menguatkan agar hal itu tidak terjadi.”
“Ya, benar. Tapi dulu kamu tak melakukannya. Kamu meninggalkanku”.
Satu-dua bulir air matanya mulai jatuh. Dan aku tak kuasa melihatnya. Aku pun tak tahu harus bagaimana. Aku membuatnya menangis. Ya tuhan, lihatlah! Dia menangis di hadapanku. Apa yang harus kulakukan?
“Maafkankan aku, Kak!” Lina mengulang kalimatnya.
Aku mencoba mencairkan suasana. Aku merasa tak enak, mencari pertanyaan sedapatnya.
“Mana suamimu?” tanyaku kemudian. “Kudengar dia ganteng. Kudengar juga katanya dia mirip artis siapa itu yang jadi pemain sinetron?” Tanyaku seolah pada diri sendiri. “Ah, mirip Aliando ya?” aku tertawa.
Kulihat Lina sedikit tersenyum. Dia seka ujung matanya dengan punggung jari telunjuk lentiknya.
***
Alunan gamelan itu masih terdengar. Kombinasi alat musik kenong, bonang, gong, serta alat musik lainnya terdengar padu dan harmonis. Dengan nada ritmis seolah mencerminkan keselarasan hidup.
Kurasakan dua-tiga sentuhan mendarat di bahuku. Ku buka mata. Dengan masih mengerjap-ngerjap seorang lelaki berdiri di sampingku. Dia panggul ransel besar di punggungnya. Tampaknya dia bersiap turun dari bus. Kulihat sekitar, ternyata di dalam bus hanya menyisakan kami berdua dan sopir.
“Sudah sampai, Bang,” katanya. “Mau turun atau mau tidur lagi?”
Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul empat pagi.
“Tidurnya pulas banget, Bang. Mimpi apa sih?” tanyanya kemudian sambil terkekeh.
“Ah, enggak kok”, jawabku singkat.
“Kalau gak salah kok nyebut nama seseorang?”
Aku terperanjat mendengarnya. Apakah benar? Atau dia hanya bergurau iseng menggodaku?
“Kalau gak salah tadi nyebut nama Lina,” tambahnya.
Astaga. Aku sontak kaget bercampur malu. Bagaimana kalau aku menyebutnya dengan teriak-teriak seperti di film-film saat adegan mimpi buruk? Segera kutepis pertanyaan itu, dan berharap hanya dia yang tahu. Ya, lelaki itu memang duduk satu sheet denganku. Jadi, wajar kalau dia tahu kalau dia tidak sedang tidur juga.
“Sekarang saatnya bangun, Bang. Jangan hanya mimpi! Kejar dia! Padahal sudah pagi lo, Bang, masa dia masih menjadi mimpi, hhaha…” tambahnya dengan gaya seolah-olah dia adalah Mario Teguh. Setelah itu dia beranjak turun dari bus meninggalkanku dan meninggalkan tawa.
Suara gamelan itu masih terdengar dari earphone yang ujungnya masih terpancang di telanga kiriku. Ujung satunya lagi terlepast dari telinga kanan. Kuduga terlepas saat aku tertidur. Musik itu berpadu dengan desis pendingin bus yang terpasang di bagian atap bus mengarah ke tiap sheet.
Ku ambil gawaiku dari dalam saku jaket. Kubiarkan musik gamelan itu tetap berbisik di telinga kiriku “Kau hanya sebatas pemimpi di hidupnya, dan dia sebatas mimpi di hidupmu.
Penulis: Zahid Arofat
***
Senyum itu. Lama sekali aku tak melihatnya. Tapi aku masih mampu menyusunnya sempurna diingatanku. Juga garis wajahnya, lesung pipinya, teduh matanya, dan semuanya. Aku membingkai dan menyimpannya sempurna.
“Sebentar lagi,” kataku seolah pada diriku sendiri. “Sebentar lagi aku akan melihatnya lagi.”
Kala itu siang hari di puncak musim kemarau. Angin timur menyibakkan hawa panas lalu membawanya sampai pori kulit. Untungnya siang itu adalah momen sejarah – momen indah. Jadi, aku berpikir itu bukanlah sebuah masalah.
Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. “Hampir pukul satu siang,” gumamku.
Tak ada sesiapa di atas panggung. Alunan gamelan memecah kelengangan sebelum akhirnya terbawa angin ke segala penjuru - mengabarkan kebahagiaan siang itu - dipersatukannya dua insan yang saling mencintai.
Seorang perempuan paruh baya melangkah ke arahku. Ia masih lengkap dengan kebaya. Meski dipoles rias aku tak kesulitan untuk mengenalinya. Itu ibu Lina.
Sepanjang langkah ia melempar senyum kepadaku. Aku berdiri, menyalami, dan mencium punggung telapak tangannya. Aku lalu duduk kembali, juga ibu Lina.
Suasana itu membuatku menjadi serba canggung. Aku yakin ibu Lina juga demikian. Tapi, ia lebih terlihat tenang dibandingkanku.
“Apa kabar, Nak?” tanya ibu Lina, memulai percakapan.
“Syukur, Bu. Baik kok. Kalau gak baik, mungkin saat ini saya gak di sini, hhehe…”, jawabku lalu tertawa ringan. Ibu Lina tersenyum.
“Tadi ke mana saja, kok baru datang? Acara resepsinya sudah selesai, Nak.”
“Nggak apa-apa, Bu. Yang penting datang. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” kujawab dengan alasan sedapatnya.
Sebenarnya bisa saja aku datang tepat waktu. Hanya saja entah kenapa waktu itu langkahku rasanya berat. Seluruh tubuhku rasanya enggan menuju acara sakral itu. Hingga akhirnya aku mampu melawannya. Itu pun terlambat. Resepsinya telah usai.
“Oh, ya, belum ketemu Lina ya?” tanyanya seolah pada diri sendiri. “Tadi ibu lihat dia masih membersihkan make up di wajahnya. Katanya agak susah sebab menggunakan air dingin. Maklum, semuanya sibuk dan tak sempat menyiapkan air hangat.”
“Iya, Bu. Gak apa-apa kok. Tapi, sebenarnya saya pengin lihat Lina dengan balutan rias pengantin, hhehe…”
“Nak,” katanya dengan suara agak tertahan, “ibu minta maaf.”
Ia berhenti sejenak. Aku diam, menunggu ibu Lina melanjutkan kalimatnya.
“Ibu mohon, Nak, jangan benci Ibu, almarhum suamiku, juga Lina! Kami telah melukaimu dan membuatmu kecewa,” katanya.
Mendengar kalimat itu membuat suasana menjadi serba sangat canggung. Aku bingung dan tak tahu harus berkata apa. Terlebih saat ku saksikan mata ibu Lina mulai berkaca-kaca saat mengatakan hal itu.
Siang itu susana mwnjadi terasa sangat gerah. Dan, kembali alunan gamelan yang harmonis itu mengisi jeda percakapan kami. Sementara itu, aku masih tetap bingung dan canggung.
Beberapa pramusaji yang sedang beberes melirih ke arah kami. Mereka mulai berbisik. Entah apa yang mereka bisikkan sebab yang kudengar lagi-lagi adalah alunan gamelan.
“Aku sudah berdamai, Bu. Berdamai dengan diriku, juga masa lalu. Saya akui memang dulu sakit hati, putus asa, dan tak ada gunanya saya hidup. Lina kuanggap segalanya waktu itu. Hingga akhirnya saya sadar bahwa Lina telah memilih hidupnya, memilih meninggalkanku. Saya harus menghargainya. Yang harus Ibu tau, meski akhirnya saya berdamai, bukan berarti aku berhenti mencintainya. Bukan berarti saya membencinya, membenci Ibu, dan membenci mendiang ayah Lina,” jelasku.
“Kamu harus berhenti mencintainya, Nak!” katanya, “Ada yang jauh lebih pantas untuk kaucintai yang juga mencintaimu dengan sepadan. Percayalah!”.
Kami kembali sama-sama diam. Sibuk dengan pikiran dan hati masing-masing.
“Ah, Lina lama sekali ya. Tunggu sebentar, Nak! Biar ibu panggil,” katanya, kemudian bangkit dari tempat duduk meninggalkanku dengan segala pikiran dan hatiku.
Sebelum ibu Lina benar-benar masuk meninggalkanku, sempat dia berbisik “Saya nggak memintamu untuk melupakan Lina, Nak. Saya tahu cintamu sangat besar. Namun, Nak, kamu harus tahu bahwa cinta yang besar itu bukan sekadar ambisi untuk memiliki, juga hati yang lapang untuk melepaskan.”
Tak berapa lama setelah ibu Lina masuk, Lina muncul dengan senyumnya. Jantungku berdegup kencang, menderu tak beraturan. Aku teringat kalimat guruku waktu di Semarang. Beliau pernah sesekali nyeletuk saat datang ke resepsian salah satu kawanku. Katanya “Ternyata deg-degan itu tidak hanya saat akan bertemu mantan, tetapi juga saat akan ketemu manten,” kemudian ia terkekeh-kekeh.
Begitu pun yang aku rasakan saat itu. Bedanya, yang kini kutemui adalah mantan jadi manten. Tapi jadi mantennya bersama orang lain.
“Hey!” sapa Lina.
“Hey!” jawabku.
Lina kemudian duduk di hadapanku, di tempat duduk yang sebelumnya ditempati ibunya.
Senyumnya masih sama. Kupandang setiap garis wajahnya. Tipis-tipis sisa make up masih melekat. Dan, angin membawa sisa wewangi khasnya menyambut indera penciumanku.
“Kok gak pakai kimono?” tanyaku sembari tersenyum. Dan, dia hanya membalas dengan hanya tertawa. Aku paham, bahwa dia tidak mau membahasnya.
“Kok sendirian, Kak? Mana pasanganmu?”
Aku tertawa. “Kau tau,” kataku, “pertanyaan itu adalah pertanyaan horor bagi setiap jomblo yang datang di acara pernikahan seseorang. Juga pertanyaan sejenis yaitu ‘kapan nyusul?’ Itu lebih horor daripada nonton film Danur atau film-film horor yang dibintangi Suzana,” kataku, sembari menggaruk kepala yang tak gatal.
“Masa?”
Aku tak menjawabnya, sebab kuyakin Lina juga percaya hal itu.
“Yang jelas,” kataku kemudian, “sebenarnya aku datang bersama rombongan keluargaku. Tapi gak jadi. Sebab sudah keduluan rombongan keluarga lain, hhahaha…” aku terkekeh. Lina juga tertawa dan salah tingkah.
“Kak, aku minta maaf!” katanya.
“Maaf untuk?” aku bertanya dia meminta maaf untuk apa.
“Mungkin,” lanjutnya “kita tidak ditakdirkan untuk berjodoh”.
“Takdir kamu bilang?”
“Iya. Takdir tuhan bahwa kau dan aku tidak diciptakan untuk bersama.”
Kutatap matanya seakan mencari maksud apa yang baru saja dikataannya.
“Omong kosong!” jawabku kemudian. “Bukankah Tuhan telah menjelaskan melalui kalam suci-Nya bahwa Dia tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali mereka sendiri yang mengubahnya? Dan, kamu tahu, Lin, aku telah berusaha untuk itu. Berusaha agar kamu menjadi milikku. Tapi, tidak denganmu. Kamu tak berusaha mewujudkannya. Kamu justeru memilih orang lain. Lalu di tangan siapa sebenarnya jodoh itu?”
“Kak, maaf. Jodoh, rezeki, dan mati itu di tangan tuhan. Aku percaya itu. Dan, sekarang aku tahu bahwa jodohku adalah suamiku, bukan kamu.”
Lina diam. Aku pun. Kulihat matanya mulai sembab.
“Apakah ketika sepasang manusia menikah, apakah ketika telah ijab-qabul terlaksana maka pasangan itu dipastikan berjodoh? Nyatanya banyak diluar sana perceraian terjadi begitu mudahnya.”
“Intinya adalah saling menjaga, saling percaya, dan saling menguatkan agar hal itu tidak terjadi.”
“Ya, benar. Tapi dulu kamu tak melakukannya. Kamu meninggalkanku”.
Satu-dua bulir air matanya mulai jatuh. Dan aku tak kuasa melihatnya. Aku pun tak tahu harus bagaimana. Aku membuatnya menangis. Ya tuhan, lihatlah! Dia menangis di hadapanku. Apa yang harus kulakukan?
“Maafkankan aku, Kak!” Lina mengulang kalimatnya.
Aku mencoba mencairkan suasana. Aku merasa tak enak, mencari pertanyaan sedapatnya.
“Mana suamimu?” tanyaku kemudian. “Kudengar dia ganteng. Kudengar juga katanya dia mirip artis siapa itu yang jadi pemain sinetron?” Tanyaku seolah pada diri sendiri. “Ah, mirip Aliando ya?” aku tertawa.
Kulihat Lina sedikit tersenyum. Dia seka ujung matanya dengan punggung jari telunjuk lentiknya.
***
Alunan gamelan itu masih terdengar. Kombinasi alat musik kenong, bonang, gong, serta alat musik lainnya terdengar padu dan harmonis. Dengan nada ritmis seolah mencerminkan keselarasan hidup.
Kurasakan dua-tiga sentuhan mendarat di bahuku. Ku buka mata. Dengan masih mengerjap-ngerjap seorang lelaki berdiri di sampingku. Dia panggul ransel besar di punggungnya. Tampaknya dia bersiap turun dari bus. Kulihat sekitar, ternyata di dalam bus hanya menyisakan kami berdua dan sopir.
“Sudah sampai, Bang,” katanya. “Mau turun atau mau tidur lagi?”
Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul empat pagi.
“Tidurnya pulas banget, Bang. Mimpi apa sih?” tanyanya kemudian sambil terkekeh.
“Ah, enggak kok”, jawabku singkat.
“Kalau gak salah kok nyebut nama seseorang?”
Aku terperanjat mendengarnya. Apakah benar? Atau dia hanya bergurau iseng menggodaku?
“Kalau gak salah tadi nyebut nama Lina,” tambahnya.
Astaga. Aku sontak kaget bercampur malu. Bagaimana kalau aku menyebutnya dengan teriak-teriak seperti di film-film saat adegan mimpi buruk? Segera kutepis pertanyaan itu, dan berharap hanya dia yang tahu. Ya, lelaki itu memang duduk satu sheet denganku. Jadi, wajar kalau dia tahu kalau dia tidak sedang tidur juga.
“Sekarang saatnya bangun, Bang. Jangan hanya mimpi! Kejar dia! Padahal sudah pagi lo, Bang, masa dia masih menjadi mimpi, hhaha…” tambahnya dengan gaya seolah-olah dia adalah Mario Teguh. Setelah itu dia beranjak turun dari bus meninggalkanku dan meninggalkan tawa.
Suara gamelan itu masih terdengar dari earphone yang ujungnya masih terpancang di telanga kiriku. Ujung satunya lagi terlepast dari telinga kanan. Kuduga terlepas saat aku tertidur. Musik itu berpadu dengan desis pendingin bus yang terpasang di bagian atap bus mengarah ke tiap sheet.
Ku ambil gawaiku dari dalam saku jaket. Kubiarkan musik gamelan itu tetap berbisik di telinga kiriku “Kau hanya sebatas pemimpi di hidupnya, dan dia sebatas mimpi di hidupmu.
Penulis: Zahid Arofat
Komentar