Langsung ke konten utama

Mahasiswa Milenial dan Petani


Saya anak seorang petani. Tapi saya tidak pernah memiliki cita-cita untuk menjadi seorang petani. Saya rasa setiap orang tua yang berprofesisebagai petani pun tidak menginginkan anaknya berkiprah dalam dunia percangkulan atau siklus tanam, merawat tanaman, pupuk-memupuk, dan hama-hamaan.

Bagi orang desa saya di Pati, bertani adalah melulu soal menanam padi dua kali setahun (mentok tiga kali) dan setelahnya ditanami palawija. Bagi petani pada umumnya ketika hasil panen melimpah maka hati merasa ayem-tentrem.

Seng penting duwe gabah numpuk ning omah”. Tidak peduli dengan itung-itungan biaya yang dikeluarkan dalam siklus tanam hingga panen. Terkadang tidak sebanding. Kalaupun ada untung pun tidak seberapa. Yang dapat meminimalisir pengeluaran memang pada dasarnya mereka sendiri yang telaten ngrumati. Apa-apa dilakukan sendiri dalam perawatan.

Seperti ibuku, terkadang beliau nandur sendiri selama dua-sampai tiga hari untuk sawah yang tidak terlalu luas. Baru ketika dirasa tidak lagi kuat njengking meminta pocokan dari tetangga. Begitupun ketika panen. Untungnya keluargaku adalah squad terbaik dalam urusan ngedos (panen padi). Pasalnya orang tuaku dikaruniai delapan anak. Tujuh diantaranya laki-laki perkasa, kecuali saya.

Saya mungkin anak terlemah di antara saudara laki-lakiku. Memang sejak kecil saya sudah dilatih untuk berbaur dengan lumpur. Tapi entah mengapa baru sebentar saja njengking macul telapak tangan sudah kapalen dan badan terasa ndredek. Tapi selemah-lemahnya saya yang paling lemah tetap saja masih kuat untuk sekadar mengangkat gabah satu karung yang kira-kira beratnya lebih dari 50 kilogram.

Selain itu, saya anak terakhir yang dilahirkan di era yang lebih maju. Era yang berpotensi menumbuhkan bakat dibidang olahraga jari: selfie; update, nge-like, dan ngomen status; dan lain sebagainya yang berkaitan dengan gadget dan medsos.

Memiliki cita-cita menjadi petani di generasi milenial saat ini tentu sangat mulia. Bagaimana tidak? Banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya sampai tinggi agar menjadi orang sukses. Bagi mereka khususnya orang di desa saya ukuran sukses adalah memiliki rumah besar full keramik dan kaca – kalau perlu gentingnya juga, – memiliki mobil, dan tentunya memberi wisit untuk anak-anak saat lebaran.
Selain itu dari petani orang-orang kaya dapat makan nasi. Kalau pun mereka makan roti juga tepungnya berasal dari petani.
 
Coba saja bayangkan kalau tidak ada petani! Mungkin orang-orang kaya akan makan makanan seafood. Itu pun tanpa ada bumbu. Karena bahan racikan bumbu instan pun berasal dari petani. Mulai dari bawang merah, bawang putih, lada, dan lain sebagainya.

Kita tentu tahu, sukses tidak melulu dengan tolok ukur seperti itu. Petani sukses juga tidak kalah dengan orang-orang kantoran seperti office boy. Nyatanya, tetangga saya sebagai seorang petani memiliki tiga istri dan belasan anak. Opo ora kondang? Mampu menandingi madu tiganya Ahmad Dhani, padahal hanya seorang petani.

Mungkin dari sanalah seorang teman saya memiliki ambisi kuat untuk menjadi seorang patani ketika lulus. Dia saat ini masih kuliah baru semester sembilan karena tampaknya dia sangat yakin belum lulus semester ini. Sebelum kuliah dia masuk SMK teknik mesin. Kuliah ngambil Sastra Indonesia, dan cita-cita menjadi petani. Ora nyambung blas

Namun, setidaknya dia adalah pemuda dengan cita-cita yang mulia. Bukan Yang Mulia di Benteng Takesi, akan tetapi sebenar-benarnya mulia-mulianya cita-cita. Tidak heran jika ditetapkan hari Tani Nasional yang diperingati setiap 25 September. Ya karena petani memiliki peranan penting untuk urusan lidah, perut, dan kelangsungan hidup manusia di daratan. Dan, yang terpenting bagi petani adalah menyoal Hari Tani.

Akan tetapi, sing penting duwe tumpukan gabah melimpah nek omah lan pemerintah ora ngimpor logistik ko luar. Persediaan gabah melimpah dan pemerintah tidak mengimpor logistik berlebihan. Negeri kita ini kaya, Mas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik Sastra: Psikologi Tokoh dalam Cerpen Topi Helm A.A. Navis

Buku Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis. Foto: Asep Sopyan Sinopsis cerpen "Topi Helm" dalam Robohnya Surau Kami A.A. Navis Topi Helm Tuan O.M (Tuan Gunarso) adalah seorang opseter pada sebuah bengkel kereta. Tubuhnya pendek, namun dia sangat berwibawa karena topi helm yang dikenakannya. Hal itulah yang membuat dia dijuluki sebagai Si Topi Helm . Kewajiban Si Topi Helm itu membuat ia juga ditakuti oleh para pekerjanya. Namun ketakutan itu malah justru dijadikan sebagai candaan atau olok-olok para pekerjanya. Ketika mereka sedang asyik mengobrol sambil bekerja, seringkali ada yang mengatakan “Ssst... Si Topi Helm”. Tentu saja para pekerja itu tunggang langgang dan pura-pura untuk bekerja dengan rajin, seolah-olah mereka tidak pernah mengobrol ketika bekerja.  Hinggaa Tuan O.M harus dipindahtugaskan ke Bandung dan memutuskan untuk memberikan Topi Helmnya kepada Pak Kari, pekerjanya pada bagian rem. Tentu Pak Kari merasa sangat senang mendapatkan Topi Helm i...

Antologi Puisi

CERMIN DIRI Oleh: Mega Dessy Ratnasari   Waktunya telah tiba, untuk segera melepas keterikatan Rambut ini mulai rontok, seakan semuanya makin parah Bisa juga lama-lama menjadi botak Aku tak peduli, ku anggap semuanya baik-baik saja Tidak menutup kemungkinan masanya akan datang Bersamaan dengan sakit yang memudar Masih ingat kalau aku sedang sakit? Tentu kau lupa Perempuan macam apa aku? Biadab mungkin Ada yang bilang kalau aku tak tahu diri Ya, ada benarnya Kata orang aku tak tahu malu, ku benarkan saja Bisa juga kaca dirumahku terlalu kecil Atau, lama-lama aku tidak membutuhkannya Untuk apa? Berdandan? Ingat, aku ini perempuan biadab jadi tidak butuh kaca Pecah saja, kemudian buang DIAMBANG KEBODOHAN Oleh: Mega Dessy Ratnasari   Kejiwaan pasti pas untuk di bicarakan Berimajinasi tanpa mengenal batas normal Beberapa hari ini kualami Hilang kendali dengan beragam keabu-abuan Sepertinya diambang ketakutan tapi menutup ...

Sastra Lisan: Asal-Usul Sumur Kidul & Sumur Singget di Desa Jatisari, Pati

Sumur Singget di Karang Jati, Pati. Foto: Zahid Arofat Asal-Usul Sumur Kidul dan Sumur Singget Sastra Lisan di Dukuh Karangjati - Desa Jatisari - Kecamatan Jakenan, Pati BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Kesusastraan rakyat adalah sastra yang hidup di tengah-tengah rakyat. Dituturkan oleh ibu kepada anaknya yang dalam buaian. Tukang cerita juga menuturkannya kepada penduduk kampung yang tidak bisa membaca (tukang cerita sendiri belum tentu bisa membaca). Cerita yang semacam ini diturunkan secara lisan dari satu generasi kepada generasi yang lebih muda (Faang, 2011 :1). Lahirnya sastra lisan lebih dulu dari sastra tertulis. Tetapi ini tidak berarti bahwa dengan lahirnya sastra tertulis, sastra lisan langsung mati. Sesungguhnya sastra lisan itu hidup bersama-sama dengan sastra tertulis, terutama di kampung-kampung yang terpencil (Faang, 2011 :1). Apakah yang termasuk dalam sastra rakyat? Sebenarnya sastra rakyat yang juga dikenal dengan nama tradisi lisan mencakup suatu...