Cerpen - Malam telah meninggalkan senja. Tak ada lagi sisa jingga di sudut cakrawala. Hanya guratan senyum yang masih tersisa di sepasang mata seorang gadis yang tengah duduk di teras rumah. Senyum dari pujaan hati yang selama ini selalu dicintainya. Seorang lelaki yang selalu diharapkannya dan diyakininya kelak menjadi imam untuk dirinya dan menjadi ayah dari anak-anaknya.
Lelaki itu adalah Adhi. Seorang perantau yang bekerja sebagai kuli bangunan. Tubuhnya proporsional, dengan otot-otot menyembul dari kedua lengannya. Wajahnya tampan dengan kulit sawo matang. Senyumnya yang manis serta mata yang sipit adalah khas darinya.
Tika – gadis manis dengan mata yang meneduhkan seperti teduh perasaan hatinya terhadap Adhi – tengah menyaksikan purnama yang baru terbangun dari tidur. Dari purnama itu, ia melihat kekasihnya. Sementara suara samar dari jangkrik yang bernyanyi seakan menjelma bagai bisikan kasih dan cinta. Ya, begitulah cara ia merindukan pujaan hatinya itu.
Bayangan wajah dalam purnama itu buyar ketika Mega – gadis kuliahan semester akhir yang seumuran dengan Tika, sebagai anak kos di rumahnya – berlari kegirangan dan kemudian menunjukkan kertas yang dilipat bentuk hati kepada Tika.
“Mbak, coba tebak! Ini surat dari siapa coba?”
“Emm... Nggak tahu. Dari pacar kamu, ya?”
“Salah. Siapa hayo?” dengan raut wajah cengar-cengir ia menggoda Tika.
“Siapa sih?”
Dengan penasaran ia mengambil surat itu dari tangan Mega. Mega mencoba mengambil kembali surat itu. Namun Tika menghalanginya. Dibaliknya surat itu. Tertulis: “Dari Adhi teruntuk kekasihku Tika.”
“Kok kamu gak bilang dari awal sih kalau ini surat dari Adhi. Ini kan surat untukku”, dengan nada suara yang sedikit agak kesal.
“Iya-iya. Maaf deh, Mbak.”
“Kok suratnya bisa ada di kamu?” tanya Tika.
“Tadi pas aku pulang dari beli lauk di warung Bu Mulyani, tidak sengaja bertemu Bang Adhi. Dia menitipkan ini untuk diberikan untukmu, Mbak,” jelas Mega.
“Terus dia bilang apa?”
“Gak bilang apa-apa sih. Cuma berpesan agar suratnya dibaca sampai akhir. Gitu doang,” tambah Mega.
Dengan cekatan jari-jemari Tika yang lentik cekatan membuka kertas surat itu. Hatinya berdegup kencang seirama desir angin berembus. Ketika surat telah terbuka, tiba-tiba Mega merebut surat itu dari tangan Tika. Ia tak bisa mencegah Mega yang dengan cepat berdiri.
“Biar aku yang membacakannya untukmu, Mbak.”
“Ya udah, buruan bacain isinya,” dengan nada sedikit kesal dan penasara.
Dengan gaya seperti seorang penyair ia mulai membaca isi surat itu, dengan disinari temaram lampu teras serta iringan musik dari suara jangkrik.
Untuk yang terkasih, Tika.
Aku ini bukanlah lelaki baik bagi wanita sebaik dirimu. Aku ini bukanlah lelaki yang pantas bersanding denganmu. Demi malam yang disaksikan purnama. Demi bintang yang menghiasi malam. Demi Tuhan yang di tangannya ku gantungkan nyawaku, engkau tak akan pernah menjadi yang terbaik untukku...
Mega berhenti dan tersenyum terhadap Tika. Senyum itu mendadak hilang dan berganti jeritan panjang ketika seekor kecoa hinggap di pundaknya. Saking takutnya, ia pun jatuh pingsan. Tika bingung, berteriak minta tolong. Sontak para penghuni kos bergegas keluar dan membantu Tika mengangkat Mega yang tergeletak di lantai teras.
Tika bergegas keluar dari kamar Mega. Hatinya gusar mendengar isi surat yang dibacakan oleh Mega sebelum pingsan. Dia tak mengerti apa maksud dari surat itu. Namun, kata-kata itu bagaikan sembilu yang menyayat hatinya. Bagaikan godam yang menghancurkan harapannya yang ia susun bersama pujaan hatinya – yang kini menyakiti hatinya melalui sepucuk surat.
Sesampainya di teras ia mencari surat yang jatuh dari tangan Mega ketika pingsan. Namun ia tak menemukannya.
“Untuk apa memedulikan surat itu, jika isinya hanya membuat luka hati?” batinnya.
***
Akhir-akhir ini Adhi selalu melamun di sudut kamar kosnya. Ia tidak bekerja. Bahkan sudah dua hari ini ia tidak makan. Wajahnya tirus dan tubuhnya terlihat kurus. Para penghuni dan pemilik kosnya merasa prihatin dengan keadaannya. Mereka mencoba membujuk Adhi agar mau makan. Namun usaha mereka sia-sia.
Sehari setelah itu, Adhi tak tampak lagi di kosnya. Dia menghilang bagai ditelan bumi. Tak ada yang tahu keberadaannya. Dan kabar menghilangnya Adhi pun sampai ke telinga Tika. Namun apalah urusannya. Toh baginya itu akan lebih baik terhadap dirinya. Akan lebih baik terhadap hatinya. Bahwa ia berharap dengan hilangnya Adhi, hilang pula luka yang bersemayam di hatinya.
***
Mentari telah naik dari peraduan. Memekarkan kuncup bunga-bunga trutus di halaman. Memekarkan rindu yang bersarang di hati seorang lelaki malang.
Kini ia berdiri di depan rumah wanita yang selalu dikasihinya. Wanita yang selalu diriduinya. Tidak ada yang berubah dari rumah itu. Seperti tidak berubahnya rasa hatinya terhadap kekasihnya. Dari sejak ia mengenalnya sampai dengan satu setengah tahun wanita yang ia cintai itu berubah. Tika membencinya – tak mau menemuinya.
Tampilannya yang lusuh dan compang-camping, serta rambutnya yang panjang tak terawat membuatnya terlihat seperti orang gila. Hal tersebut membuat banyak perhatian sesiapa yang melihatnya. Termasuk ibu Tika yang baru saja keluar dari dalam rumah kos. Hal tersebut membuatnya terkejut, karena ia mengenali lelaki tersebut. Adalah Adhi – kekasih dari anaknya. Ah, tepatnya bukan kekasihnya lagi. Lelaki yang menghilang sejak satu setengah tahun yang lalu.
Ibu Tika kembali masuk untuk memberitahukan hal itu kepada anaknya.
“Tik.. Tika,” meneriaki Tika yang berada di dalam kamar.
“Iya, Ma.” Jawab Tika.
Tak berapa lama Tika membuka pintu kamar. Lalu ia keluar.
“Ada apa, Ma?” tanya Tika dengan penasaran.
“Anu... Di depan ada Nak Adhi.”
Entah mengapa mendengar nama itu, Tika bergegas keluar rumah. Seperti ia ingin menjemput rindu yang terpendam selama satu setengah tahun ini. Seperti ada rasa yang mendorongnya untuk bertemu dengan orang yang pernah ia cintai.
Sesampainya di luar ia sangat terkejut melihat lelaki yang dulu ia cintai dengan tampilan yang memprihatinkan.
“Tika. Kau kah itu?” tanya Adhi kepada wanita yang mematung di depannya.
“Mengapa kamu menjadi seperti ini?” ia berbalik tanya.
“Oh.. Kekasihku, Tika. Mengapa baru sekarang engkau mau menemuiku? Dulu engkau selalu menghindariku. Engkau tak mau menemuiku tanpa alasan yang tak ku tahu. Sejak saat itu aku menjadi gila. Aku seperti kehilangan cahaya. Hidupku gelap, Tika. Aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu.”
Ia melihat Tika yang mematung, sementara dari sudut matanya meleleh dan jatuhlah butiran-butiran bening.
“Aku bukanlah orang yang baik sejak saat itu. Aku pulang kampung. Aku sering mabuk untuk menghilangkan kegalauanku. Namun setiap tenggakan itu justru membuatku semakin tak keruan. Hingga akhirnya aku diusir keluargaku dari rumah. Oh, kekasihku. Saat itu aku tak tahu lagi harus tinggal di mana. Aku tak mempunyai tempat tinggal”, tambah Adhi.
Pecahlah tangis Tika. Ia tak kuasa menahan air matanya melihat kenyataan bahwa orang yang pernah ia cintai sekarang menjadi seperti itu. Dan ia hanya bisa menangis.
“Aku benar-benar berubah. Namun cintaku terhadapmu tak akan pernah terhadapmu hingga saat ini. Saat ku lihat perutmu sudah membuncit. Oh, pasti ayah dari calon bayi itu adalah orang yang baik. Lihatlah rambutku yang mulai memanjang dan tak terawat ini adalah saksi dari rasaku terhadapmu. Saksi tulusnya cintaku terhadapmu.”
“Kamu tak pernah berubah. Kamu selalu aneh. Apa maksud perkataanmu?” tanya Tika yang kemudian bergegas masuk ke dalam rumah meninggalkan Adhi yang memandanginya. Meninggalkan air mata yang terurai di tanah.
Tika duduk di kursi ruang tengah. Ia masih sesenggukan dengan derai tangis di pipinya. Ternyata Ibunya sedari tadi memerhatikannya. Ibunya menghampirinya. Duduk di depan anaknya sembari memberikan sebuah kertas usang.
“Apa ini, Bu?” tanya Tika.
“Itu surat dari Nak Adhi. Ibu menemukannya ketika Mega jatuh pingsan di teras malam itu satu setengah tahun yang lalu. Sejak kejadian itu aku melihat sikapmu terhadap Nak Adhi berubah. Bacalah!”
Dengan tangan sedikit gemetar Tika membuka kertas itu, lalu membacanya.
Dari Adhi. Teruntuk yang terkasih, Tika.
Aku ini bukanlah lelaki baik bagi wanita sebaik dirimu. Aku ini bukanlah lelaki yang pantas bersanding denganmu. Demi malam yang disaksikan purnama. Demi bintang yang menghiasi malam. Demi Tuhan yang di tangannya ku gantungkan nyawaku, engkau tak akan pernah menjadi yang terbaik untukku.
Harus engkau tahu, untuk menjadi yang ter- itu harus ada pembanding. Bagaimanna aku bisa mengatakan kamu terbaik jika hanya kamu di hatiku? Oh, kekasihku. Engkau tak akan pernah menjadi yang terbaik, karena engkau adalah satu yang baik untukku.
Aku bukanlah orang yang baik, tapi aku selalu berusaha untuk menjadi baik. Aku bukanlah orang yang pantas untukmu, tapi aku selalu berusaha agar aku bisa pantas bersanding denganmu. Rambutku ini akan menjadi saksi kesetiaanku. Aku tidak akan memotongnya sebelum engkau bersedia menerima pinanganku. Dua bulan lagi engkau diwisuda bukan? Mahukah engkau menikah denganku?
Aku mencintaimu.
Penulis: Zahid Arofat
Lelaki itu adalah Adhi. Seorang perantau yang bekerja sebagai kuli bangunan. Tubuhnya proporsional, dengan otot-otot menyembul dari kedua lengannya. Wajahnya tampan dengan kulit sawo matang. Senyumnya yang manis serta mata yang sipit adalah khas darinya.
Tika – gadis manis dengan mata yang meneduhkan seperti teduh perasaan hatinya terhadap Adhi – tengah menyaksikan purnama yang baru terbangun dari tidur. Dari purnama itu, ia melihat kekasihnya. Sementara suara samar dari jangkrik yang bernyanyi seakan menjelma bagai bisikan kasih dan cinta. Ya, begitulah cara ia merindukan pujaan hatinya itu.
Bayangan wajah dalam purnama itu buyar ketika Mega – gadis kuliahan semester akhir yang seumuran dengan Tika, sebagai anak kos di rumahnya – berlari kegirangan dan kemudian menunjukkan kertas yang dilipat bentuk hati kepada Tika.
“Mbak, coba tebak! Ini surat dari siapa coba?”
“Emm... Nggak tahu. Dari pacar kamu, ya?”
“Salah. Siapa hayo?” dengan raut wajah cengar-cengir ia menggoda Tika.
“Siapa sih?”
Dengan penasaran ia mengambil surat itu dari tangan Mega. Mega mencoba mengambil kembali surat itu. Namun Tika menghalanginya. Dibaliknya surat itu. Tertulis: “Dari Adhi teruntuk kekasihku Tika.”
“Kok kamu gak bilang dari awal sih kalau ini surat dari Adhi. Ini kan surat untukku”, dengan nada suara yang sedikit agak kesal.
“Iya-iya. Maaf deh, Mbak.”
“Kok suratnya bisa ada di kamu?” tanya Tika.
“Tadi pas aku pulang dari beli lauk di warung Bu Mulyani, tidak sengaja bertemu Bang Adhi. Dia menitipkan ini untuk diberikan untukmu, Mbak,” jelas Mega.
“Terus dia bilang apa?”
“Gak bilang apa-apa sih. Cuma berpesan agar suratnya dibaca sampai akhir. Gitu doang,” tambah Mega.
Dengan cekatan jari-jemari Tika yang lentik cekatan membuka kertas surat itu. Hatinya berdegup kencang seirama desir angin berembus. Ketika surat telah terbuka, tiba-tiba Mega merebut surat itu dari tangan Tika. Ia tak bisa mencegah Mega yang dengan cepat berdiri.
“Biar aku yang membacakannya untukmu, Mbak.”
“Ya udah, buruan bacain isinya,” dengan nada sedikit kesal dan penasara.
Dengan gaya seperti seorang penyair ia mulai membaca isi surat itu, dengan disinari temaram lampu teras serta iringan musik dari suara jangkrik.
Untuk yang terkasih, Tika.
Aku ini bukanlah lelaki baik bagi wanita sebaik dirimu. Aku ini bukanlah lelaki yang pantas bersanding denganmu. Demi malam yang disaksikan purnama. Demi bintang yang menghiasi malam. Demi Tuhan yang di tangannya ku gantungkan nyawaku, engkau tak akan pernah menjadi yang terbaik untukku...
Mega berhenti dan tersenyum terhadap Tika. Senyum itu mendadak hilang dan berganti jeritan panjang ketika seekor kecoa hinggap di pundaknya. Saking takutnya, ia pun jatuh pingsan. Tika bingung, berteriak minta tolong. Sontak para penghuni kos bergegas keluar dan membantu Tika mengangkat Mega yang tergeletak di lantai teras.
Tika bergegas keluar dari kamar Mega. Hatinya gusar mendengar isi surat yang dibacakan oleh Mega sebelum pingsan. Dia tak mengerti apa maksud dari surat itu. Namun, kata-kata itu bagaikan sembilu yang menyayat hatinya. Bagaikan godam yang menghancurkan harapannya yang ia susun bersama pujaan hatinya – yang kini menyakiti hatinya melalui sepucuk surat.
Sesampainya di teras ia mencari surat yang jatuh dari tangan Mega ketika pingsan. Namun ia tak menemukannya.
“Untuk apa memedulikan surat itu, jika isinya hanya membuat luka hati?” batinnya.
***
Akhir-akhir ini Adhi selalu melamun di sudut kamar kosnya. Ia tidak bekerja. Bahkan sudah dua hari ini ia tidak makan. Wajahnya tirus dan tubuhnya terlihat kurus. Para penghuni dan pemilik kosnya merasa prihatin dengan keadaannya. Mereka mencoba membujuk Adhi agar mau makan. Namun usaha mereka sia-sia.
Sehari setelah itu, Adhi tak tampak lagi di kosnya. Dia menghilang bagai ditelan bumi. Tak ada yang tahu keberadaannya. Dan kabar menghilangnya Adhi pun sampai ke telinga Tika. Namun apalah urusannya. Toh baginya itu akan lebih baik terhadap dirinya. Akan lebih baik terhadap hatinya. Bahwa ia berharap dengan hilangnya Adhi, hilang pula luka yang bersemayam di hatinya.
***
Mentari telah naik dari peraduan. Memekarkan kuncup bunga-bunga trutus di halaman. Memekarkan rindu yang bersarang di hati seorang lelaki malang.
Kini ia berdiri di depan rumah wanita yang selalu dikasihinya. Wanita yang selalu diriduinya. Tidak ada yang berubah dari rumah itu. Seperti tidak berubahnya rasa hatinya terhadap kekasihnya. Dari sejak ia mengenalnya sampai dengan satu setengah tahun wanita yang ia cintai itu berubah. Tika membencinya – tak mau menemuinya.
Tampilannya yang lusuh dan compang-camping, serta rambutnya yang panjang tak terawat membuatnya terlihat seperti orang gila. Hal tersebut membuat banyak perhatian sesiapa yang melihatnya. Termasuk ibu Tika yang baru saja keluar dari dalam rumah kos. Hal tersebut membuatnya terkejut, karena ia mengenali lelaki tersebut. Adalah Adhi – kekasih dari anaknya. Ah, tepatnya bukan kekasihnya lagi. Lelaki yang menghilang sejak satu setengah tahun yang lalu.
Ibu Tika kembali masuk untuk memberitahukan hal itu kepada anaknya.
“Tik.. Tika,” meneriaki Tika yang berada di dalam kamar.
“Iya, Ma.” Jawab Tika.
Tak berapa lama Tika membuka pintu kamar. Lalu ia keluar.
“Ada apa, Ma?” tanya Tika dengan penasaran.
“Anu... Di depan ada Nak Adhi.”
Entah mengapa mendengar nama itu, Tika bergegas keluar rumah. Seperti ia ingin menjemput rindu yang terpendam selama satu setengah tahun ini. Seperti ada rasa yang mendorongnya untuk bertemu dengan orang yang pernah ia cintai.
Sesampainya di luar ia sangat terkejut melihat lelaki yang dulu ia cintai dengan tampilan yang memprihatinkan.
“Tika. Kau kah itu?” tanya Adhi kepada wanita yang mematung di depannya.
“Mengapa kamu menjadi seperti ini?” ia berbalik tanya.
“Oh.. Kekasihku, Tika. Mengapa baru sekarang engkau mau menemuiku? Dulu engkau selalu menghindariku. Engkau tak mau menemuiku tanpa alasan yang tak ku tahu. Sejak saat itu aku menjadi gila. Aku seperti kehilangan cahaya. Hidupku gelap, Tika. Aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu.”
Ia melihat Tika yang mematung, sementara dari sudut matanya meleleh dan jatuhlah butiran-butiran bening.
“Aku bukanlah orang yang baik sejak saat itu. Aku pulang kampung. Aku sering mabuk untuk menghilangkan kegalauanku. Namun setiap tenggakan itu justru membuatku semakin tak keruan. Hingga akhirnya aku diusir keluargaku dari rumah. Oh, kekasihku. Saat itu aku tak tahu lagi harus tinggal di mana. Aku tak mempunyai tempat tinggal”, tambah Adhi.
Pecahlah tangis Tika. Ia tak kuasa menahan air matanya melihat kenyataan bahwa orang yang pernah ia cintai sekarang menjadi seperti itu. Dan ia hanya bisa menangis.
“Aku benar-benar berubah. Namun cintaku terhadapmu tak akan pernah terhadapmu hingga saat ini. Saat ku lihat perutmu sudah membuncit. Oh, pasti ayah dari calon bayi itu adalah orang yang baik. Lihatlah rambutku yang mulai memanjang dan tak terawat ini adalah saksi dari rasaku terhadapmu. Saksi tulusnya cintaku terhadapmu.”
“Kamu tak pernah berubah. Kamu selalu aneh. Apa maksud perkataanmu?” tanya Tika yang kemudian bergegas masuk ke dalam rumah meninggalkan Adhi yang memandanginya. Meninggalkan air mata yang terurai di tanah.
Tika duduk di kursi ruang tengah. Ia masih sesenggukan dengan derai tangis di pipinya. Ternyata Ibunya sedari tadi memerhatikannya. Ibunya menghampirinya. Duduk di depan anaknya sembari memberikan sebuah kertas usang.
“Apa ini, Bu?” tanya Tika.
“Itu surat dari Nak Adhi. Ibu menemukannya ketika Mega jatuh pingsan di teras malam itu satu setengah tahun yang lalu. Sejak kejadian itu aku melihat sikapmu terhadap Nak Adhi berubah. Bacalah!”
Dengan tangan sedikit gemetar Tika membuka kertas itu, lalu membacanya.
Dari Adhi. Teruntuk yang terkasih, Tika.
Aku ini bukanlah lelaki baik bagi wanita sebaik dirimu. Aku ini bukanlah lelaki yang pantas bersanding denganmu. Demi malam yang disaksikan purnama. Demi bintang yang menghiasi malam. Demi Tuhan yang di tangannya ku gantungkan nyawaku, engkau tak akan pernah menjadi yang terbaik untukku.
Harus engkau tahu, untuk menjadi yang ter- itu harus ada pembanding. Bagaimanna aku bisa mengatakan kamu terbaik jika hanya kamu di hatiku? Oh, kekasihku. Engkau tak akan pernah menjadi yang terbaik, karena engkau adalah satu yang baik untukku.
Aku bukanlah orang yang baik, tapi aku selalu berusaha untuk menjadi baik. Aku bukanlah orang yang pantas untukmu, tapi aku selalu berusaha agar aku bisa pantas bersanding denganmu. Rambutku ini akan menjadi saksi kesetiaanku. Aku tidak akan memotongnya sebelum engkau bersedia menerima pinanganku. Dua bulan lagi engkau diwisuda bukan? Mahukah engkau menikah denganku?
Aku mencintaimu.
Penulis: Zahid Arofat

Komentar